Bapak,
Maaf aku tidak bisa melihat wajahmu untuk yang terakhir kalinya. Wajah yang selalu penuh senyum dengan guratan-guratan ketabahan dan kesabaran yang terpatri. Dihiasi kumis yang selalu melintang serta garis sisa-sisa ketampanan. Wajah yang tidak pernah marah, namun menghasilkan mata yang selalu menatap tajam penuh dengan kekecewaan jika melihat aku yang selalu tidak menurut perintahmu atau lalai menjalankan tugas.
Wajah yang dulu senantiasa melihat aku tumbuh hingga dewasa. Wajah yang belum pernah aku lihat ada air mata yang membasahinya, meskipun beberapa tahun lalu ditinggal Ibu berpulang. Hanya gerimis kecil terlihat dimatamu, begitu tegar ketika dilanda kehilangan besar atau mungkin juga begitu ikhlas ketika semua memang harus terjadi, sang pasangan jiwa pergi untuk selama-lamanya.
Bapak,
Maaf aku tidak bisa memelukmu untuk yang terakhir kalinya. Padahal dulu tanganmu selalu memeluk, mendekap dan menuntun hingga aku mampu berjalan. Tangan kekar yang dulu sering menyuapi makanan pada anakmu ini yang masih balita, sambil membawanya jalan-jalan di pinggir rel kereta api di sekitar lingkungan rumahmu yang berdinding bambu. Tangan yang kadang mengajak menari sambil berdendang bersama. Tangan yang sudah begitu sering merasakan kerasnya hidup dan selalu menadah kala berdoa di sela-sela ibadah.