Vivienne menatapku dengan mata yang basah. Untuk
waktu yang lama kami berpelukan tanpa kata-kata. Isaknya terus mendera,
menumpahkan begitu banyak beban yang terpendam. Apakah harus begini akhirnya
Vivienne? Karir yang selalu kau damba-dambakan berujung pada air mata.
Vivienne seorang artis ternama yang sudah menetap di
ibu kota sejak tiga tahun lalu. Meninggalkan desanya yang jauh di Sleman dan
orang-orang yang sangat dicintainya. Mengejar impian jadi bintang film. Dipuja
banyak orang. Hidup mewah penuh gemerlap. Kilatan blitz selalu menerpanya dimanapun berada. Santapan lezat media
massa.
“Aku capek, aku mau berhenti,” ujarnya sambil
melepaskan pelukan.
“Tapi jadi artis adalah impian yang selalu kau
inginkan dari dulu, kau sudah berhasil,” aku berusaha menenangkannya.
“Aku nggak sanggup lagi, semua ini palsu. Aku harus
bertopeng setiap hari.”
“Sudahlah, sabar semua ada konsekuensinya.”
Aku mengajak Vivienne duduk di sebuah kursi kayu
yang ada di ruang tamu rumah kecilku ini. Aku memasukkan dua buah koper yang
dia bawa tadi ke dalam rumah. Matanya masih basah.
“Duniaku sangat berat, kalau tidak bisa beradaptasi
bisa cepat tergilas. Dituntut selalu tampil cantik. Setiap saat harus senyum ke
semua orang yang memandang. Mencoba bersikap manis pada sesama artis padahal
kami semua penuh intrik. Menciptakan citra baik di mata masyarakat. Sering
tampil di media biar tetap eksis. Menciptakan gosip biar tetap dibicarakan
orang. Bahkan kalau memungkinkan buatlah skandal biar tetap jadi buah bibir.”