Baru
saja aku meletakkan tas ransel di rak barang atas dan hendak duduk, ketika
seorang gadis menegurku dengan suara tegas. “Kursi ini masih kosong Bang?” tanyanya. Aku mengangguk pelan tanda
mengiyakan.
“Boleh
aku yang duduk disebelah jendela, Bang?” sapanya kemudian.
“Silahkan,”
dengan ragu ku jawab sambil tersenyum kecil. Sebenarnya aku tidak rela
memberikan kursi di dekat jendela itu kepadanya karena aku selalu senang duduk
di posisi itu kalau sedang naik kereta api. Sebagai seorang pria sudah
seharusnya aku mengalah, mungkin dia yang lebih membutuhkan kenyamanan berada
di posisi tempat duduk itu.
Para
penumpang yang lain masih berlalu-lalang memilih tempat duduk karena di kereta
api Sribilah Utama kelas ekonomi ini, pada tiketnya tidak tertera nomor kursi
yang seharusnya kita duduki tetapi para penumpang dibebaskan memilih sendiri
kursi yang hendak mereka tempati. Cara yang tidak efektif, semrawut dan membuat
para penumpang berjubel saling merebut kursi.
Pukul
08.40 WIB peluit tanda keberangkatan dibunyikan dan tidak lama kemudian kereta
api pun melaju perlahan menuju Medan dari stasiun kecil ini di Rantau Prapat.
Membawaku pulang ke rumah. Tempat yang sudah kudiami sejak aku lahir dua puluh
tahun yang lalu. Benarkah disana tempat aku pulang? Ataukah ada tempat lain
yang sesungguhnya untuk aku pulang? Saat ini aku belum bisa menjawabnya.