Baru
saja aku meletakkan tas ransel di rak barang atas dan hendak duduk, ketika
seorang gadis menegurku dengan suara tegas. “Kursi ini masih kosong Bang?” tanyanya. Aku mengangguk pelan tanda
mengiyakan.
“Boleh
aku yang duduk disebelah jendela, Bang?” sapanya kemudian.
“Silahkan,”
dengan ragu ku jawab sambil tersenyum kecil. Sebenarnya aku tidak rela
memberikan kursi di dekat jendela itu kepadanya karena aku selalu senang duduk
di posisi itu kalau sedang naik kereta api. Sebagai seorang pria sudah
seharusnya aku mengalah, mungkin dia yang lebih membutuhkan kenyamanan berada
di posisi tempat duduk itu.
Para
penumpang yang lain masih berlalu-lalang memilih tempat duduk karena di kereta
api Sribilah Utama kelas ekonomi ini, pada tiketnya tidak tertera nomor kursi
yang seharusnya kita duduki tetapi para penumpang dibebaskan memilih sendiri
kursi yang hendak mereka tempati. Cara yang tidak efektif, semrawut dan membuat
para penumpang berjubel saling merebut kursi.
Pukul
08.40 WIB peluit tanda keberangkatan dibunyikan dan tidak lama kemudian kereta
api pun melaju perlahan menuju Medan dari stasiun kecil ini di Rantau Prapat.
Membawaku pulang ke rumah. Tempat yang sudah kudiami sejak aku lahir dua puluh
tahun yang lalu. Benarkah disana tempat aku pulang? Ataukah ada tempat lain
yang sesungguhnya untuk aku pulang? Saat ini aku belum bisa menjawabnya.
Aku
perhatikan gadis disebelahku ini sekilas. Ia berseragam putih abu-abu dan mengenakan
jilbab, menandakan ia seorang pelajar SMA. Membawa sebuah tas sekolah berbentuk
ransel berwarna hitam yang selalu dipangkunya. Tapi mengapa pagi-pagi begini
sudah ada di kereta api, bukankah seharusnya ia berada di dalam sekolah dan
sedang belajar karena ini masih hari sabtu? Sebenarnya itu bukan urusanku, cuma
penasaran saja, mungkin dia kabur dari rumah atau mungkin ada keperluan
mendadak yang mengharuskannya pergi ke Medan.
Aku
tidak terbiasa membuka percakapan dengan orang yang belum aku kenal. Walaupun
hanya untuk sekedar berbasa-basi. Kereta api mulai cepat melaju dan ia masih
saja memandang ke arah jendela. Namun kali ini naluriku ingin tahu lebih banyak
tentang dia.
“Turun
dimana, Dik?” sapaku mencoba membuka percakapan.
“Di
Medan,” jawabnya sambil menoleh kepadaku
“Kamu
bolos sekolah?” tanyaku yang sangat basa-basi.
“Iya,
aku kabur dari rumah, Bang,” lugas dia menjawab.
“Oh...,”
aku tidak bisa berkata-kata lagi.
Aku
mencoba membetulkan letak posisi kacamataku. Dia tersenyum ringan. Tiba-tiba ia
membuka jilbab yang menutupi kepalanya. Tampak potongan rambut lurusnya yang
pendek. Ia merapikan sebentar rambutnya dengan kedua tangannya. Aku pura-pura
tidak melihatnya. Lalu perlahan dia membuka satu-persatu kancing baju lengan
panjang putihnya tanpa sungkan-sungkan. Membukanya, melipatnya dan langsung
memasukkannya bersama kain kerudung yang ia kenakan tadi ke dalam tas. Ia masih
memakai kaos warna hitam di balik bajunya tadi. Kaos bergambar grup band rock
lawas luar negeri beserta tulisan nama grup band tersebut.
Para
penumpang disamping kami melirik sambil penuh tanda tanya di kepala mereka.
Tapi sepertinya dia tidak mempedulikan itu semua. Kebetulan tempat duduk kami
berada paling ujung dari gerbong kereta api sehingga tidak ada penumpang yang
menghadap ke arah kami dan posisi kami pun menghadap ke dinding gerbong kereta
api.
Adegan
ganti baju ini masih terus ia lanjutkan. Kali ini sambil berdiri ia membuka rok
panjangnya dengan cepat dan di dalamnya ternyata ia sudah menggunakan celana
panjang jeans biru gelap. Kemudian ia
melipat dan memasukkan roknya ke dalam tas sambil tetap tenang. Aku membetulkan
posisi dudukku. Sepertinya ia sudah mempersiapkan betul-betul rencana kaburnya
ini terlebih dahulu.
Tak
seberapa lama ia membuka saku tas di bagian depan dan mengambil sesuatu dari
dalamnya. Sebuah kalung perak berbandul tengkorak yang juga berwarna perak. Kemudian
mengalungkan ke lehernya. Ia juga mengambil sebuah gelang bernuansa etnik dan
langsung mengenakannya. Seorang gadis manis berkerudung sudah bertransformasi
menjadi seorang lady rocker dalam
sebuah kereta api.
“Aku
tidak terbiasa memakainya, gerah Bang,” ia memberi tahu seakan tahu apa yang
sedang aku pikirkan. “Lagian biar nggak ada lagi yang nanya seperti pertanyaan
abang tadi,” lanjutnya.
“Kamu
seperti Superman, kenapa nggak di toilet ganti bajunya biar nggak ada yang
tahu?”
“Di
toilet kereta api? Bau pesing, jorok!”
“Orang-orang
jadi pada ngelihatin kamu tadi.”
“Biar
aja, pada nggak kenal sama aku juga.”
“Jadi
kamu tadi berjilbab untuk menyamar.”
“Aku
berjilbab ketika sekolah aja, Bang.”
Deru
laju kereta masih kencang. Di luar sedikit mendung. Dari jendela kereta tampak
barisan kelapa sawit yang tersusun rapi. Kemudian sesekali melewati pemukiman
pedesaan yang dihiasai persawahan yang menghijau. Dia terdiam dan seakan
menahan rasa kantuk. Wajahnya menyiratkan ada rasa amarah yang terpendam.
“Kenapa
kamu mau kabur dari rumah?” aku mencoba berdialog lagi. “Apa kamu dipaksa kawin
sama orang tuamu?” Dia cuma tersenyum. Manis.
“Capek
Bang, diomelin terus di rumah. Semua yang aku lakuin nggak pernah benar di mata
mereka. Ribut terus di rumah. Selalu aku yang salah. Selalu aku yang kena
marah. Kadang iri sama adikku yang nggak pernah kena marah. Selalu aku yang
jadi antagonisnya. Ini salah, itu salah. Semua dilarang. Suntuk!” jawabnya
dengan tenang bernada kesal.
“Terus
kamu kabur, biar dicariin, biar diperhatiin, biar merasa dibutuhin. Apa kamu
pernah berpikir, apakah yang kamu lakukan itu memang sudah benar?”
“Keluar
rumah jangan lama-lama, pacaran dilarang, bergaul dibatasi, ngeband pun nggak
direstui, semuanya nggak boleh. Aku pengen bebas, nggak ada yang ngelarang,
nggak ada yang bawel.”
“Mereka
marah sama kamu karena mereka sayang sama kamu. Kalau mereka nggak pernah
ngomelin kamu berarti mereka sudah nggak sayang lagi, sudah nggak mau peduli
sama kamu.”
“Sok
tua!”
Dia
memalingkan tubuhnya ke jendela. Menikmati angin yang menerpa wajahnya.
Memejamkan matanya, menunduk berpangku pada tas hitamnya. Suara kereta api terdengar
seirama dengan goyangan gerbong yang terus melaju. Aku mengambil sebuah buku
dari dalam tas, mencoba menyelesaikan bacaan sambil membunuh waktu di
perjalanan ini.
Kereta
api berhenti sejenak di sebuah stasiun kecil di daerah Kisaran. Penumpang ada
yang turun dan ada juga yang naik. Kembali riuh. Para pedagang asongan mulai
naik ke gerbong menjajakan dagangannya. Aku membeli minuman ringan dan sejumlah
permen. Dia terbangun karena kebisingan ini.
“Udah
sampai mana, Bang?”
“Kisaran.”
“Mau
minum?”
Dia
menggelengkan kepalanya. Kemudian ia mengambil sebuah permen dari dalam tasnya
dan memakannya. Kereta api kembali melaju.
“Rencananya
di Medan mau tinggal dimana?”
“Belum
tahu, aku mau menjumpai temanku dulu.”
“Teman
atau pacar?”
“Kenalan
dari facebook, dia anak kuliahan dan tinggalnya
di Medan.”
“Laki-laki?”
dia mengangguk. “Hati-hati sekarang banyak penipuan dan penculikan.”
Terdengar
suara tangisan balita dari penumpang di samping kami. Sebuah keluarga dengan
tiga orang anak. Si ibu berusaha menenangkan balitanya yang sedang menangis. Dia
memperhatikannya. Aku lanjutkan membaca.
“Dalam
rangka apa Abang ke Medan?” dia mencoba membuka percakapan lagi. Aku menutup
buku bacaanku.
“Pulang.
Rumahku di Medan.”
“Jadi
di Rantau Prapat ngapain?”
“Mencari
orang tua kandung.”
“Ehm...,”
dia seperti terkejut.
“Aku
anak tunggal. Satu tahun yang lalu ibuku meninggal karena sakit,” entah kenapa
aku ingin bercerita kepadanya. “Dan empat bulan yang lalu ayahku pun ikut
menyusul ibu, namun sebelum meninggal beliau bercerita bahwa aku bukan anak
kandung mereka. Aku sangat terpukul. Ayah memberitahu bahwa mereka mengadopsiku
dulu dari sebuah keluarga yang kurang mampu. Kemudian ayah memberiku sebuah
alamat dimana orang tuaku tinggal sekarang. Awalnya aku tidak ingin mencari
mereka karena aku menganggap ayah dan ibu adopsikulah orang tuaku yang
sesungguhmya.”
“Lama-kelamaan
aku merasa kosong, kesepian,” aku melanjutkan ceritaku. “Aku merindukan sosok
orang tua. Hari-hari yang kulakukan cuma kuliah dan bermain. Aku rindu
dibuatkan masakan, aku rindu dimarahin, aku rindu ditanya kalau aku kelamaan
pergi. Pokoknya aku rindu omelan mereka. Serasa ada yang kurang. Hampa. Dan aku
sadar apa yang pernah mereka ucapkan itu benar adanya. Sejak itu aku ingin
menjumpai kedua orang tua kandungku. Aku harus menemukannya. Aku belum pernah
sekalipun membahagiakan orang tuaku, belum pernah membalas jasa-jasa mereka
yang tak terhingga. Mungkin dengan menemukan kedua orang tua kandungku, aku
masih bisa membalas membahagiakan orang tua melalui mereka.”
“Abang
sudah bertemu degan mereka?”
“Belum.
Kata orang yang telah menempati rumah orang tua kandungku kini, mereka sudah
pindah ke daerah Perbaungan ikut anak mereka yang tertua. Mungkin minggu depan
aku akan mencari mereka lagi.”
“Maaf,
Abang jadi teringat masa lalu.”
“Nggak
apa-apa. Aku dulu juga seperti kamu, suka kesal kalo dimarahin. Tapi aku tidak
berniat kabur.”
“Boleh
minta air minumnya, Bang?”
Kenangan-kenangan
itu selalu jadi pembelajaran buatku. Semoga dia juga akan cepat menyadarinya.
Bahwa orang tua akan selalu menyayangi anak mereka dan terus berjuang demi
membahagiakannya. Sementara kereta api masih setia menyisiri relnya dengan laju
mengantar para penumpang ke tempat tujuan.
Kali
ini kereta api berhenti di stasiun Tebing Tinggi, kembali menurunkan dan menaikkan
para penumpang. Pedagang asonganpun tak henti-hentinya menjajakan dagangannya.
Meski kadang memaksa para penumpang untuk membelinya. Tak lama kemudian kereta
api pun bergegas melaju menyusuri jalannya. Sesekali tampak perkebunan karet
dan aliran sungai kecil dari balik jendela.
“Kita
udah ngobrol banyak tapi kita belum kenalan, Bang.”
“Oh
iya, namaku Andi,” aku menjulurkan tangan.
“Aku
Tia,” kami bersalaman.
“Boru
apa?”
“Nggak
ada, aku orang Jawa, kalo marga Abang?”
“Ternyata
aku bermarga Siregar.”
Dia
mulai tertawa. Perjalanan ini pun terus kami isi dengan obrolan-obrolan ringan.
Wajahnya sudah mulai berubah lebih ceria. Waktu menunjukkan hampir jam dua ketika
kereta api kami pun sampai di stasiun Besar Medan. Di depan sudah banyak para
penjemput dan becak-becak motor berjajar menunggu para penumpang. Kami berjalan
beriringan. Sampai disinikah pertemuanku dengannya? Haruskah ini cepat
berakhir? Mengapa ada rasa ingin bertemu lagi dengannya?
“Dimana
alamat temanmu yang di Medan itu?” tanyaku ketika kami sudah berada di depan
stasiun. Dia berhenti sejenak tidak memberikan jawaban.
“Biar
aku tunjukkan angkotnya atau mau naik becak motor saja?” lanjutku.
“Bang,
aku putuskan untuk pulang saja ke Rantau Prapat, ke rumah orang tuaku,”
tiba-tiba ia berubah pikiran.
“Kenapa?
Nggak jadi kabur?” sebenarnya aku senang mendengar keputusannya.
“Aku
takut. Aku merasa asing disini.”
“Ya,
sudah. Itu keputusanmu yang terbaik. Pulanglah, minta maaflah pada orang tuamu
dan jangan coba kabur lagi. Nikmati saja omelan mereka, mumpung kamu masih bisa
mendengarnya.”
“Makasih
Bang, udah jadi teman seperjalanan yang menyenangkan.”
“Sama-sama,
lebih baik kita makan dulu yuk. Jadwal kereta api ke Rantau Prapat yang paling
cepat sekitar jam tiga lewat.”
Dia
pun menuruti ajakanku. Akhirnya kami memutuskan untuk makan siang bareng di sebuah
restoran di kawasan Merdeka Walk sambil menunggu jam keberangkatan kereta api.
Selepas makan kami berjalan kaki melewati lapangan Merdeka menuju stasiun
Besar. Hari ini cuaca Medan begitu cerah, tidak seperti biasanya yang sudah
hampir seminggu ini turun hujan terus.
“Tia,
boleh pinjam kain kerudung kamu tadi?” tanyaku setelah kami sampai di depan
stasiun.
“Untuk
apa?” jawabnya heran sambil mengambil kain kerudung dari dalam tasnya.
Aku
pegang kerudung itu lalu perlahan aku pasangkan di kepalanya. Dia sedikit
terkejut namun kemudian dia membantu memasangkannya.
“Kamu
kelihatan lebih cantik kalau memakainya.”
“Mulai
merayu ya. Apakah nanti aku bisa ketemu lagi sama bang Andi?”
“Kan
masih ada kereta api yang ke Medan.”
Kami
tertawa bersama. Kali ini tawanya tampak paling merekah.
“Oh
ya, Bang, punya tisu?”
“Aduh,
nggak ada”
“Kalo
nomor HP punya kan?”
“Hahaha...
Garing.”
Aku
percaya bahwa suatu perjalanan adalah menemukan. Bahkan perjalanan yang sudah
biasa kita lalui pun akan menemukan adanya hal-hal baru. Meskipun dalam
perjalanan untuk menemukan sesuatu yang aku cari kali ini belum berhasil, namun ada sesuatu hal lain yang
telah kutemukan. Cinta. Ya cinta.
ini nyata?
BalasHapuskok so sweet yah..
ahiy... ^_^
BalasHapus#angguk2
BalasHapusomelan orang tua itu juga yang sering saya rindukan saat ini masbud. :)
apa pun yang ada memang sebaiknya dinikmati entah itu pahit atau manis. :)
Casinos Near Casino Wyndham, NY - MapYRO
BalasHapusSearch 여주 출장샵 for Casinos Near Casino Wyndham. 경상남도 출장마사지 Get directions, reviews and information for 여주 출장샵 Casinos Near Casino Wyndham 경상북도 출장마사지 in 의정부 출장마사지 Wyndham, NY.