“Gimana ceritanya?”
“Liburan semester kemarin teman satu kos ku, Togu
mengajak pergi ke kampungnya di Kabanjahe, sekalian menjenguk orang tuanya
disana,” Eben mengawali ceritanya. “Karena belum pernah menginap disana, saya
memutuskan untuk menerima ajakannya.”
“Wah
pasti seru ni pengalamannya, terus?”
“Orang
tua Togu mempunyai tanah yang sangat luas. Mereka menanaminya dengan
sayur-sayuran dan buah-buahan. Suasananya sangat nyaman dan lingkungannya
begitu sejuk. Di sekeliling yang tampak cuma hamparan hijau tanam-tanaman dan langit
biru yang begitu bersih beserta awan-awannya yang seakan bisa dipegang. Dari
rumahnya juga tampak pemandangan gunung Sinabung yang tinggi menjulang.
Udaranya sejuk sekali sekaligus beraroma magis.”
“Ben,
ini horornya dimana?”
“Tenang
dulu Bang, baru mau masuk ini,” Eben melanjutkan ceritanya. “Jadi gini, pada malam
kedua kami menginap di kampung itu, aku iseng mengajak Togu jalan-jalan keluar
rumah pada malam hari. Menyusuri perkebunan disekitar kampung. Saat itu sudah
hampir tengah malam. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah bangunan kecil
seperti rumah yang berada disekitar perkebunan jeruk yang letaknya kurang lebih
500 meter dari rumah Togu. Karena penasaran, aku sedikit mendekatinya dan
ternyata itu adalah sebuah kuburan,” Eben menghela nafas sejenak.
“Lalu?”
“Sambil
berjalan pulang, tanganku iseng memetik sebuah jeruk dari pohon yang ada di
pingir jalan karena buahnya kulihat sudah matang dan tampaknya manis, lumayan
untuk menghilangkan sementara hausku. Tapi Togu melarangku, jangan dipetik
sebelum minta ijin dengan yang punya, katanya. Terlambat, sudah terlanjur
kupetik jeruknya, lagi pula aku tidak tahu siapa yang punya. Tidak seberapa
lama kami berjalan tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dibelakang kami.
Suara itu selalu mengikuti kemana kami berjalan, semakin lama semakin jelas.
Aku perhatikan Togu diam saja dan terus mempercepat jalannya. Kemudian...”
“Ya,
kemudian...?”
“Aku
berhenti, aku ingin tahu siapa yang mengikuti kami. Aku menoleh ke belakang.
Tampak seperti seorang laki-laki kurus berambut gondrong berbadan gelap dan wajahnya
tidak begitu jelas kelihatan. Dia tidak memakai baju. Berjalan pelan
mendekatiku, semakin dekat dan semakin dekat. Aku ingin berlari namun kakiku
tak bisa digerakkan. Terpaku di tanah. Aku terus memandangi orang itu. Mataku
tidak bisa memandang ke tempat lain, selalu tertuju padanya. Semakin kulihat
orang itu sepertinya badannya juga semakin tinggi. Lama-lama kulihat badannya
semakin menjulang, semakin menakutkan. Dan tangannya yang memanjang mulai
menjangkau leherku seperti ingin mencekik. Tiba-tiba dari kejauhan aku
mendengar suara Togu berteriak, picingkan matamu jangan melotot, picingkan dan
kembalikan jeruk itu! Togu terus-menerus berteriak seperti itu. Kupicingkan
mataku dan berusaha untuk tidak menatapnya sambil melemparkan buah jeruk yang
ada di genggamanku. Aku masih tetap terpaku dan orang itu mulai mengeluarkan
suara yang semakin menyeramkan. Tangannya hampir menyentuh leherku, namun
terasa ada yang menarik tanganku dengan kuat dan terus menuntunku berlari.
Tanpa berpikir panjang aku terus berlari sekencang-kencangnya mengikuti tarikan
tangannya. Ternyata Togu yang menarik tanganku,” Eben berhenti sejenak.
“Kami
berdua terus berlari tanpa tahu arah, menyusuri perkebunan, menerobos
pohon-pohon yang ada di depan kami. Yang ada dipikiran kami hanyalah menghindar
sejauh mungkin dari tempat tadi. Setelah kami rasa cukup jauh kami berlari, aku
memutuskan untuk berhenti sebentar, mengatur nafasku yang ngos-ngosan. Aku
terduduk lemas, Togu ikut duduk mendekatiku. Tanpa diminta Togu menjelaskan apa
yang kulihat tadi. Tadi itu namanya Begu Ganjang atau hantu panjang. Masyarakat
disini percaya mereka ada dan katanya ada beberapa orang yang memeliharanya
untuk menjaga perkebunan mereka dan bisa membinasakan orang lain atas perintah
pemeliharanya. Menurut cerita dari mulut ke mulut,
Begu Ganjang di zaman dulu sengaja dipelihara oleh warga untuk menjaga ladang
atau lahan pertanian. Di zaman sekarang fungsi Begu Ganjang berubah yaitu untuk
mencari kekayaan. Si pemilik Begu Ganjang, konon, harus membunuh seseorang
untuk memuluskan niat memperoleh harta itu. Dalam pikiranku cuma ingin cepat pulang
sampai di rumah.”
“Lalu kalian pulang?”
“Belum, kami tersesat dan tak tahu
arah jalan pulang. Pokoknya aku tanpamu butiran debu lah. Hahaha... Kami terus
berjalan dan tak lama kemudian kami menemukan sebuah bangunan gubuk beratap
daun ilalang dan berdinding bambu. Dari dalam gubuk tampak ada cahaya lampu,
menandakan ada yang sedang menghuni gubuk tersebut. Togu bilang, itu tempat
para peronda malam berkumpul sambil bercengkerama. Tempat ronda tapi berada di
tengah-tengah perkebunan. Kami memutuskan untuk kesana sambil menanyakan arah
jalan pulang. Sesampainya di gubuk itu, Togu mengetuk pintu dan seorang bapak
tua membukakan pintu sedikit saja seperti mengintip. Togu bertanya pada bapak
itu menggunakan bahasa Batak Karo tentang alamat kami. Rupanya bapak itu kenal
dengan Togu dan kemudian mereka saling berbincang akrab. Aku mengintip dari
sela pintu yang terbuka, tampak masih ada empat orang lagi di dalam sambil
menonton televisi dan di meja tersusun beberapa botol dan gelas berisi minuman
yang belum habis. Tapi sepertinya yang sedang mereka tonton bukan siaran
televisi. Di bawah televisi ada sebuah dvd
player sedang menyala. Mereka begitu serius menontonnya.”
“Lalu kalian memutuskan untuk ikut
menonton disana?”
“Tidak, setelah tahu arah pulang,
kami langsung cepat-cepat pulang. Kami tidak pernah menceritakan kejadian ini
kepada orang tua Togu. Besoknya aku memutuskan untuk segara kembali ke Medan. Nah
itu tadi pengalaman hororku ketemu sama Begu Ganjang, terima kasih, Bang” Eben
mengakhiri ceritanya.
“Oke
sobat Medan itu tadi pengalaman Eben dari Padangbulan yang menceritakan
pengalaman horornya bertemu Begu Ganjang di Kabanjahe. Masih bersama saya, Reza
di Horas Radio 104.4 FM radionya sobat Medan semua, dalam program acara kamis
malam ini, ‘Becak Motor’ bercerita akrab ngomongin tentang horor,” sang penyiar
terus melanjutkan acaranya. “Saya akan terus menemani sobat Medan selama satu
jam penuh, mulai dari jam sebelas malam hinga tengah malam nanti, saya masih menunggu
penelepon berikutya yang mau berbagi cerita bersama tentang
pengalaman-pengalaman horornya.”
“Halo...”
“Tampaknya
sudah ada penelepon lagi, halo selamat malam, dengan siapa ini?”
“Halo,
selamat malam, nama saya Maruli di Mandala.”
“Baiklah
bang Maruli, punya cerita horor yang bisa dibagi buat para pendengar kita kali
ini?”
“Nggak
tahu juga ini cerita horor atau bukan,” Maruli mulai bercerita. “Saya seorang
supir angkot. Malam itu sekitar hampir jam dua belas malam dan saya masih
mencari penumpang. Saat itu sedang sepi dan angkot saya tidak ada penumpangnya.
Ketika melewati daerah rumah sakit umum Dr. Pirngadi, tampak di depan seorang
wanita sedang merentangkan tangan kanannya memberi isyarat ingin naik angkot
saya. Pakaiannya putih-putih dengan rambut sebahu. Wajahnya pucat kelelahan.
Dengan ragu saya menghentikan angkot saya. Naikklah wanita itu ke dalam angkot
saya tanpa suara.”
“Perasaan
bang Maruli gimana saat itu?”
“Agak
takut juga sedikit. Sepanjang perjalanan dia diam saja. Saya pun diam saja antara
takut dan sudah capek juga seharian nyetir angkot. Sesekali saya perhatikan
lewat kaca spion depan. Wajahnya tegang seperti ketakutan juga dan dia sering
menutup hidungnya dengan sebelah tangannya. Mungkin dia mencium aroma tidak
sedap dari angkot saya. Soalnya tadi sore ada penumpang seorang ibu, pulang
dari belanja membawa sebungkus plastik berisi ikan yang tumpah di angkot karena
plastiknya pecah. Jadi aroma amisnya masih tertinggal di angkot karena belum
sempat saya bersihkan. Wanita itu diam terus mematung nggak mau melihat ke arah
saya.”
“Apa
tidak ada penumpang lain lagi yang naik, Bang?”
“Tidak
ada. Setelah melewati terowongan jalan tol Tembung, dia meminta berhenti.
Kenapa minta turun disini, saya bertanya dalam hati. Saya mulai merinding. Tahu
sendiri kan bahwa di terowongan jalan tol Tembung ini sering terjadi
penampakan-penampakan kuntilanak. Apalagi waktu gerimis di tengah malam, para
pengendara sepeda motor sering diganggu,” sambung Maruli. “Wanita itu memilih
turun tidak jauh dari terowongan tersebut. Setelah turun dia buru-buru membuka
dompetnya lalu mengambil uang kertas selembar dan menyerahkannya kepada saya
tanpa melihat wajah saya. Tanpa berpikir panjang dan mungkin karena suasana
yang menghororkan, dengan cepat saya mengambil uang darinya dan langsung tancap
gas tanpa melihat wanita itu. Tapi kemudian saya mendengar wanita itu berteriak
dari kejauhan, “Woiii angkot setan! Kembaliannya mana!” Kok saya malah dimaki
angkot setan, kemudian saya perhatikan uang yang wanita itu berikan tadi.
Ternyata dia memberikan selembar uang lima puluh ribuan. Pantas dia meminta
uang kembaliannya dan dia juga ternyata bukan hantu.”
“Hahaha,
mungkin dia perawat yang baru pulang kerja dari rumah sakit, Bang.”
“Iya,
saya sudah terbawa takut duluan jadi bawaannya parno terus.”
“Bang
Maruli sudah lama jadi supir angkot?”
“Baru
tiga bulan, ini juga karena terpaksa karena belum juga dapat kerja setelah
lulus jadi sarjana.”
“Oke
baiklah, terima kasih bang Maruli atas cerita pengalamannya diteriaki angkot
setan. Masih di Horas Radio 104.4 FM radionya sobat Medan bersama saya Reza
disini dalam acara ‘Becak Motor’ bercerita akrab ngomongin tentang horor, di
kamis malam ini. Karena sudah hampir tengah malam, saya menunggu penelepon
terakhir yang mau berbagi cerita mengenai pengalaman horornya disini. Oh
tampaknya sudah ada penelepon yang masuk, halo...”
“Halo”
suaranya kelihatan datar.
“Dengan
siapa dan dimana?”
“Saya
Yasmin, Bang. Di jalan Cut Nyak Dien.”
“Akhirnya
ada cewek yang nelepon, alamatnya deket dong dengan studio kita, oke Yasmin silahkan
berbagi ceritanya.”
“Mungkin
abang sudah pernah dengar cerita ini.”
“Cerita
yang mana? Kalaupun saya sudah pernah mendengarnya tapi para pendengar yang
lain mungkin ada yang belum pernah mendengar, coba Yasmin ceritakan pengalaman
Yasmin ini.”
“Begini
bang Reza, beberapa waktu yang lalu ada seorang cewek mati dibunuh dan mayatnya
dibuang di semak-semak sekitar kampus fakultas kedokteran USU.”
“Ya,
saya juga tahu beritanya, kejadiannya itu kan di kampus saya sekarang. Seorang cewek
yang dibunuh setelah diperkosa beberapa laki-laki tidak dikenal. Terus mayatnya
dibuang begitu saja. Tapi beberapa hari kemudian mayatnya kan sudah ditemukan.”
“Bener,
Bang.”
“Yasmin
kenal sama cewek itu?” tanya sang penyiar.
“Kenal,
Bang. Tapi pembunuhnya belum ditemukan. Yasmin minta tolong supaya pembunuhnya
lekas ditemukan.”
“Kita semua berdoa semoga pembunuhnya cepat ditemukan,
kan kasusnya sudah ditangani sama yang berwajib.”
“Tapi saya ingin bang Reza yang
membantu menemukan pembunuhnya.”
“Gimana
caranya? Saya bukan polisi.”
“Yasmin
ingin ketemu sama bang Reza.”
“Yasmin
kan rumahnya di dekat sini, coba datang saja kemari, kita bisa saling ngobrol,
tapi jangan sekarang, sudah larut malam ini.”
“Yasmin
sudah ada di depan, Bang.”
“Di
depan mana?”
“Di
pohon depan studio ini, Bang”
“Jangan
bercanda, saya cuma berdua ini sama operator radionya.”
“Hihihi...”
“Sudah
ya, jangan bercanda atau saya putusin ni teleponnya.”
Reza
mulai merinding dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Dari
tadi saya sudah ada di pohon besar ini, Bang, bahkan saya sudah duduk bareng di
mobil bang Reza waktu sepulang dari kampus tadi.”
“Jadi
kamu sudah ngikutin aku dari kampus sampai aku menuju tempat siaran ini?”
“Hihihi...”
Reza
membuka headphone yang ada di
telinga, menjauh dari kursi siarannya. Mencoba menutup kedua telinga dengan
tangan. Mondar-mandir sambil memandangi teman operatornya.
“Pantas
tadi waktu di daerah kampus seperti ada yang duduk di jok belakang mobil.”
“Saya
naik mobil abang dari pohon beringin dekat pendopo kampus, Bang”
“Apakah
Yasmin mahasiswa yang terbunuh itu?”
“Hihihi...,
bener, Bang”
Reza
tak bisa berkata-kata lagi, dia cuma memandangi sang operator radionya yang
juga tampak kebingungan.
“Kenapa
Yasmin memilih saya.”
“Karena
dari dulu Yasmin selalu mengagumi abang, sebagai anak baru di kampus, Yasmin
selalu memperhatikan bang Reza yang sudah senior di kampus. Yamin sudah jatuh
hati sama abang.”
Reza
terus memperhatikan sang operator radio dan mengajaknya masuk ke ruang siaran.
“Bang,
Bang matikan saluran teleponnya,” perintah Reza kepada sang operator.
“Iya
ini udah, tapi suaranya kok masih ada,” jawab sang operator.
Suara
lengkingan Yasmin tidak berhenti dan tidak bisa dihentikan, terus memenuhi
siaran radio malam itu.
“Gimana
ini!”
“Hihihi...”
“Cabut
kabelnya, Bang”
“Sudah!”
Saluran
radio itu masih terus mengumandangkan suara Yasmin.
“Matikan!
Matikan!”
“Hihihi...”
“Tolong!”
Haisss..... :D
BalasHapus