Tangga itu
yang membuatku trauma. Tangga di rumah mertuaku ini. Aku pernah jatuh
terpeleset disana. Tangga yang berada di ruang tengah rumah dua lantai ini yang
mengubungkan lantai satu dengan sebuah kamar beserta kamar mandinya di lantai
dua. Kamar kita sejak menjadi pasangan pengantin baru.
Aku tinggal
ikut mertua karena kamu belum punya rumah sendiri. Itu tidak menjadi masalah
buatku pada awalnya. Aku bisa beradaptasi dengan lingkungan dan suasana baru.
Berbaur dengan mertua dan kedua adik perempuanmu. Aku harus bisa menyesuaikan
diri dengan kebiasaan-kebiasaan keluarga ini. Aku harus berpura-pura manis didepan
mertuaku walaupun sebenarnya aku sedang jengkel sama kamu. Lama-lama ini tidak
membuatku nyaman.
Tangga
itu yang seharusnya jadi pemisah antara keluarga kecil kita dan keluarga
besarmu. Aku ingin membangun keluarga sendiri. Tanpa ada campur tangan orang
lain. Aku sudah bosan dengan sindiran ibu mertuaku ketika sedang berbicara
dengan adikmu di lantai bawah. Kadang suaranya sedikit dikeraskan bila membahas
tentang aku. Aku yang sering telat bangun pagi. Aku yang tidak bekerja. Aku
yang tidak beres mengurus suami. Aku yang ini dan itu.
Hal ini
berlangsung terus hingga lima tahun. Ditambah lagi keberadaanku yang belum
hamil juga. Kamu kan tahu kita sudah pernah memeriksakan hal ini ke dokter
kandungan dan kita berdua dinyatakan sehat. Bukan salahku jika sampai saat ini
kita belum punya anak. Tuhan belum mempercayakannya pada kita. Tapi ibu
mertuaku terus saja mempermasalahkan hal itu. Aku capek.
Tangga itu yang jadi saksi. Aku selalu menunggumu pulang kerja. Betapa senangnya aku mendengar langkah kaki orang sedang menaikinya menuju keatas. Itu pasti langkah kakimu yang bersepatu. Aku sering kesepian di rumah sebesar ini. Aku ingin bekerja tapi kamu tidak boleh. Biar aku saja yang cari uang katamu.
Dan hal
itu terjadi. Aku hamil. Betapa girangnya aku di kamar mandi setelah melihat
hasil testpack yang menunjukkan tanda
positif. Aku ingin segera menunjukkan hasinya pada ibu mertuaku. Aku ingin
buktikan padanya bahwa aku bisa hamil. Aku akan punya anak. Aku ingin segera
menelponmu yang sedang berada kantor. Akan kukabarkan berita bahagia ini ke
semua orang. Aku tidak jadi mandi dan segera memakai handuk bergegas ke lantai
bawah dengan kaki yang masih basah.
Aku
terus memanggil ibu mertuaku sambil berlari menuruni anak tangga. Akibat
terlalu senang sambil memegang testpack,
aku lupa berpegangan pada tangga. Baru saja aku menginjak anak tangga keempat,
kakiku tergelincir. Aku jatuh terpeselet, bergulung-gulung sampai lantai bawah
dan kepalaku membentur anak tangga terakhir. Ibu mertuaku menjerit.
Tangga
itu yang membuat aku kehilangan bayiku. Itu terjadi sekitar lima belas tahun
yang lalu. Namun kini aku tidak kesepian lagi. Apalagi semenjak keluarga
suamiku sudah pindah dari rumah dinas mertuaku ini. Ada seorang gadis kecil berumur
enam tahun selalu menemaniku dirumah ini.
“Tante,
ayo main dibawah, jangan diatas terus, dibawah lebih luas Tante.”
“Tante
nggak mau kebawah, Tante takut turun lewat tangga itu.”
“Kenapa
sih Tante takut lewat tangga itu?”
“...”
“Sashi
ayo lekas turun, makan. Jangan main sendirian diatas terus. Eh kamu ngomong
sama siapa itu?” panggil seorang ibu yang berada dilantai bawah.
Tangga
itu selalu mengingatkanku. Aku mati disitu.
(497 kata)
ih masbud,
BalasHapuspernah ngobrol di tangga jugakah? :O
sama "orang tak dikenal" ? :O
jangan sampe kang roni
Hapuskasihan jadi hantu tangga...
BalasHapusHantu curhat! Hehe, twister you are! :-)
BalasHapusiya ya kok jadinya malah curhat
HapusAwalnya kukira mertuanya yang ndorong X_x
BalasHapusBagus, Kak ^^
makasih
Hapusbagus mas nggak nyangka ternyata dia udah jadi hantu..
BalasHapus:D makasih
Hapus