Sudah lima belas
menit aku menunggu. Dia belum datang juga. Sebentar lagi kereta akan berangkat.
Kereta yang setiap pagi selalu kami
tumpangi untuk membawa kami ke tempat kerja di pusat kota. Penuh kaum urban pekerja
keras pengais rejeki dari pinggir kota yang rela berdesakan demi mendapatkan
bangku kosong dan ingin segera tiba ke tujuan.
Aku masih
menunggunya di bangku kayu panjang yang ada di peron stasiun ini. Sebuah bangku
yang menjadi saksi pertemuanku dengannya. Biasanya kami akan duduk disitu
sambil menunggu salah satu dari kami yang datang belakangan. Kemudian kami akan naik kereta yang sama dan duduk
bersebelahan atau kadang juga berdiri berdekatan. Ketika sampai di stasiun
tujuan, kami akan berpisah menuju tempat kerja masing-masing.
Sudah tiga bulan
ini hubungan kami makin akrab. Tanpa sadar kami sudah saling menyebut kata
sayang, aku juga tidak tahu mengapa bisa begitu nyaman bila berada di dekatnya.
Aku selalu merasa bahagia bila bersamanya. Bahkan kadang setelah pulang kantor
kami janjian di sebuah coffee shop
untuk sekedar saling curhat masalah kerjaan atau keluarga. Pulang kerjapun kami
akan selalu naik kereta yang sama.
Peluit tanda
keberangkatan sudah berbunyi. Dia belum datang juga. Dimana Dia? Apa tidak
masuk kerja hari ini? Aku kehilangan. Perlahan kereta melaju dan suaranya menambah
kebisingan peron ini. Aku biarkan keretaku berlalu. Biarlah telat masuk kerja
hari demi menunggumu.
Ponselku bergetar,
sebuah pesan masuk.
Mas, aku gak masuk kerja hari ini, anakku sedang
sakit
Anak lelaki
satu-satunya sedang sakit. Pasti dia sedang menjaganya di rumah dan ijin tidak
masuk kerja hari ini. Aku memang mencintai seorang wanita bersuami dan sudah mempunyai
seorang anak. Salahkah hatiku memilihnya?
Keretaku sudah
melaju jauh, tinggal aku disini yang sedang memandangi rel kereta. Aku dan dia
seperti rel kereta itu. Selalu beriringan namun tak bisa menyatu. Karena ada
seorang istri yang selalu menungguku di rumah.
(299 kata)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar