Putih.
Itu yang ku lihat pertama kali waktu mataku perlahan terbuka. Dinding-dinding ini, langit-langit,
awan tipis yang menyembul di
balik jendela, tempat tidur, pakaian beberapa orang disekitarku. Pandanganku yang samar-samar
mulai terang. Aku paksa mata ini terbuka. Sudah berapa lama aku terpejam,
entahlah aku tak mampu mengingatnya. Ada beberapa orang yang kukenal
disekelilingku mungkin mereka sedang menjagaku. Mereka saling berbicara namun
aku tidak begitu jelas mendengar suara mereka.
Ada ibu disampingku, tapi kenapa ada air mata dipipinya.
Jangan menangis ibu aku baik-baik saja. Tangan ibu mulai membelai kepalaku,
mengusapnya perlahan dengan hangat. Maafkan aku ibu, anak yang sering
menyusahkanmu bahkan di saat
seperti ini pun aku masih membuatmu menangis.
Entah sudah berapa lama ibu duduk disampingku, guratan-guratan lelah di wajahnya begitu jelas tergambar. Bapak dan adikku juga ada disini. Wajah mereka
juga tampak mendung.
“Jangan menangis Buk”, suaraku lirih.
Gerimis juga hadir di luar, mungkin sisa hujan tadi.
Tetesan airnya begitu indah dan bening. Tapi mengapa tidak muncul pelangi yang
biasanya datang setelah hujan reda. Aku ingin melihatmu pelangi.
Aku masih terbaring. Perlahan aku lihat
sekeliling, selang infus ini masih juga melekat ditanganku. Bau obat-obatan
khas rumah sakit mulai merebak ke hidungku.
Pandanganku beralih ke sosok yang dulu
begitu
dekat denganku, dengan hatiku. Kamu sahabatku. Kamu juga ada disini menemaniku.
Kamu yang selalu menghiasi mimpi-mimpiku. Kamu yang selalu aku rindu. Kamu yang
menjadi dambaanku. Kamu yang akhirnya aku cinta. Kamu yang tak mungkin bisa aku
miliki karena kamu telah memilih dia sebagai pilihan hatimu, pendamping hidupmu, suamimu. Dia juga ada disini
bersamamu,
memegang
erat tanganmu.
Mengapa
bayanganmu tidak bisa lepas dari ingatanku. Kita dulu sering bersama menjalani
hari-hari di kampus. Kadang kamu sering bercerita tentang banyak pria yang mencoba mendekatimu namun kamu tolak
secara halus. Aku senang mendengarnya. Tapi juga kadang ada seorang pria
yang kamu taksir dan kamu memujanya
dengan begitu bersemangat. Aku
kecewa mendengarnya. Hingga akhirnya kamu bisa mendapatkan pria pilihan hatimu. Kamu bahagia. Aku harus senang melihatnya meski hatiku
perih. Kamu tak kan pernah tahu itu.
Penyakit
yang sudah lama kuderita ini terus menggerogoti dan akhirnya mencapai stadium
4. Aku tak mampu menghindarinya lagi. Meski aku terus bertahan ketika telah
didiagnosa dokter dua tahun silam. Banyak yang tidak tahu termasuk kamu. Aku
tak ingin orang mengasihaniku. Aku merasa bisa berjuang melawannya.
Gerimis perlahan berhenti, aku masih menanti pelangi.
Mengapa belum muncul, aku sangat menanti keragaman warnanya yang indah. Dulu
aku sering melihatnya di wajahmu.
Mungkin aku yang terlalu pengecut, tidak berani
mengatakan rasa ini padamu hingga waktu terus berlalu. Waktu yang akhirnya
menutup kisahku. Pujianku padamu jadi rahasia. Seharusnya aku nekat
mengungkapkannya dahulu dan menerima apapun resikonya nanti yang bakal terjadi.
Suara-suara itu masih samar terdengar. Aku lihat kamu
menitikkan airmata. Jangan menangis sahabat, ya sahabat, kamu masih menganggapku
sahabat kan ? Sekarang aku ikhlas kamu sudah bahagia bersamanya. Semoga dia
bisa melindungi, menjaga hatimu. Dadaku mulai terasa sesak.
“Sari” mataku tertuju padamu.
“Apa Yo, jangan banyak bicara dulu” jawabmu.
“Bolehkah aku memelukmu sekali saja, sekali saja” pintaku
terbata.
Tiba-tiba kamu mendekat dan merangkulku perlahan. Hangat,
itu yang kurasakan. Ya Tuhan jangan akhiri ini, mohon hentikan waktu sejenak.
Aku ingin merasakannya lebih lama, desah nafasnya, detak jantungnya. Jangan
lepaskan aku darinya, aku hanya ingin memeluknya sekali saja. Merasakan
dekapannya.
Aku lirik sebentar ke luar jendela. Dia datang, pelangi
itu muncul bersama aneka warnanya yang indah. Tapi sebentar, kenapa semua
warnanya perlahan-lahan membaur menjadi satu lalu membentuk putih. Semakin lama
semakin jelas dan terang. Pelangi itu kini cuma membentuk satu warna. Putih dan
terus putih.
Kulihat tubuhmu masih memelukku dan terdengar suara
tangismu. Hentikan, jangan menangis. Aku sudah bahagia. Dan ibu tak
henti-hentinya memanggil namaku.
“Rio ... rio jangan pergi”.
lanjut mas!!
BalasHapus