Jogja
berbintang malam ini. Namun masih saja sepi disini, apalagi semenjak bapak
pergi entah kemana. Tinggal ibu dan ketiga mbakku yang juga tidak begitu peduli
denganku. Seperti biasa sunyi malam ini. Aku cuma bisa memandangi sebuah jembatan
di depan rumah yang jarang dilewati orang. Jembatan tua yang sudah hampir roboh
dan banyak orang bilang angker karena sudah banyak orang yang nekat bunuh diri
disitu. Tempat yang strategis untuk mati. Cuma sungai kecil yang mengalir
dibawahnya masih merdu terdengar suara gemericik airnya.
Itu ada
seorang pria lewat sendirian. Mau kemana sendirian jalan kaki malam-malam begini.
Dari wajahnya kelihatan masih muda, mungkin usianya sekitar dua puluhan tahun.
Raut wajahnya keras, sepertinya dia bukan orang sini. Dari tadi pria itu cuma
mondar-mandir aja di tengah jembatan, apa dia mau bunuh diri juga. Sepertinya
iya.
Dia berdiri
di satu sisi jembatan, kepalanya sering melihat ke bawah, matanya dipejamkan,
eh melek lagi. Melihat ke kanan ke kiri. Mundur beberapa langkah. Maju lagi. Kelihatannya
masih bingung. Payah laki-laki kok nggak tetap pendiriannya. Tak samperin ah.
“Mau
bunuh diri, Mas ?” sapaku.
Dia
terkejut dan bisa melihatku, lalu mundur beberapa langkah.
“Kalau
mau lompat, lompat aja nggak usah kebanyakan mikir.”
Dia diam
saja.
“Mas
pikir mati itu enak, kok sepertinya menggampangkan.”
Wajahnya
masih ketakutan.
“Atau
mau saya bantuin, sini biar tak bantu jorokin ke sungai.”
“Eh ...
engg ..emm.”
“Putus
cinta ya, jadi laki-laki kok cengeng, udah cari yang lain saja.”
“Bingung
aku, tadinya mau bunuh diri tapi masih takut mati.”
“Ada
masalah apa sampeyan, Mas ? Sini curhat ke saya, gratis lho.”
Dia
mulai berjalan mendekatiku, lumayan juga wajahnya dilihat dari dekat.
“Rencananya
mau bunuh diri tapi masih takut saja. Berbagai cara mau ku coba tapi kok nggak
berani. Pengen potong nadi tapi takut sakit. Pengen minum racun serangga pasti nggak
enak rasanya, pengen ditabrak kereta api nanti badanku berantakan. Pengen
disuntik mati tapi siapa yang mau nyuntik. Sepertinya nggak ada cara bunuh diri
yang mudah dan menyenangkan. Akhirnya aku memutuskan untuk mencari jembatan
lalu terjun dan mudah-mudahan bisa tenggelam karena aku nggak bisa berenang,
tapi malah kau datang, mengganggu saja.”
Dia
terus bercerita.
“Namaku
Marlon Sembiring dari tanah Karo Sumatera Utara, setahun yang lalu selepas
lulus SMA aku merantau ke Jakarta. Tapi karena ketiduran dan salah naik bus
akhirnya aku terdampar di sini, di Jogja. Ya sudahlah mungkin takdirku harus
tinggal di sini dulu. Aku nggak punya saudara disini dan tujuanku cuma mau cari
kerja. Ternyata cari kerja itu susah juga, mau pulang kampung masih malu.
Akhirnya pekerjaan-pekerjaan kasar aku jalani. Jabatanku terakhir jadi kenek
angkot. Biarlah, yang penting masih bisa untuk makan dan bayar sewa kost.”
Aku
masih mendengarkan dengan seksama logat bataknya.
“Tiga
bulan lalu aku jatuh cinta sama tetanggaku di sebelah tempat kostku. Seorang
gadis namanya Wulan, anak kuliahan. Wajahnya manis kali, bicaranya halus, rambutnya
panjang terurai, kulitnya selembut sutra, hidungnya ...”
“Sudah nggak
perlu detil, intinya si Wulan ini cantik. Titik, terus ...,” potongku.
“Aku
tembaklah dia jadi pacarku, eh mau pula dia. Tapi inilah masalahnya, bapaknya
nggak suka sama aku. Dia pengen punya menantu orang Jawa juga, kalau bisa malah
orang keraton katanya. Musnahlah sudah harapanku.”
“Yang
pentingkan anaknya sudah suka sama Masnya”
“Iya,
itulah makanya dia pun masih bingung ini, galau katanya.”
“Terus
berjuang Mas, jangan nyerah dulu.”
“Nggak
sanggup aku kehilangan dia. Eh, ngomong-ngomong janganlah aku dipanggil
mas-mas, agak janggal kurasa, panggil aku abang saja ya.”
“Okelah
Bang, lalu ?”
“Nah,
kalau aku datang ke rumahnya, bapaknya selalu bilang kalau mau pacaran sama
anaknya mesti ada syaratnya.”
“Apa
syaratnya, Bang ?”
“Aku
harus bisa nyanyi lagu Jawa dengan baik dan benar.”
“Hi hi
hi hi hi.”
“Macam
setan pula ketawamu. Coba kau bayangkan, bahasa Jawa pun aku belum begitu
paham, masa pula aku disuruh nyanyi lagu Jawa dengan baik dan benar.”
Coba kubayangkan
sebentar, sebuah lagu Jawa dinyanyikan dengan logat batak. Hemmm.
“Oh iya
sudah lama kita bicara tapi aku belum tahu siapa kau, kenapa seorang cewek cantik
dengan baju aneh berwarna kuning ini malam-malam masih keluar rumah.”
“Kenalkan
nama saya Tining Bang, singkatan dari Kunti Kuning.”
“Dimana
rumahmu Kuning ?”
“Itu Bang,
sebelah situ.”
“Mana ? Mana
ada rumah di situ, cuma sebuah pohon beringinnya ku tengok.”
“Ya
disitu tempat tinggal saya Bang.”
“Hah,
oooo iya namamu kan Kun ... Kun ..., jadi kau ha ... han ... tuuu.”
“Hi hi
hi hi, iya, sudah jangan takut Bang, siapa tahu saya bisa bantu masalah Abang.”
“Aku
masih heran, biasanya kan kalau yang ku tengok di film-film itu bajunya Kunti
warnanya putih ini bajumu kok warnanya kuning ?”
“Itu kan
di film Bang, saya kan bisa fashionable.”
“Tapi
wajah kau kok nggak seram.”
“Emang
hantu nggak boleh cantik Bang, di kalangan hantu saya yang paling cantik Bang,
saya mendapatkan gelar Putri Kunti Indonesia tahun ini, Bang. Malahan tahun
depan saya bakal dikirim ke ajang Miss Ghost Universe di Brazil.”
“Oooo.”
“Itulah
juga yang membuat mbak-mbak saya jadi iri dan sering membully saya Bang, sekarang aja saya ditinggal sendirian di rumah.”
“Bukan
dirumah tapi di pohon beringin !”
“Iya,
iya itu kan rumah saya.”
“Cantik-cantik
tinggalnya di pohon, kan capek manjat-manjat.”
Tak cekik
juga ni orang.
“Mbak-mbak
kau pergi kemana ?”
“Ketiga mbak
dan ibu saya pergi bertamu ke rumah seorang janda yang bernama Randa Kudapan di
daerah Gedhongkuning sana, Bang. Janda itu punya seorang anak laki-laki ganteng
yang bernama Pocong Lumutan. Maksud ibu saya, mau mengenalkan ketiga mbak saya
itu dengan si Pocong Lumutan itu. Siapa tahu dia tertarik dengan salah satu
mbak saya itu. Lha saya nggak boleh ikut, padahal saya juga kepengen lihat mas
Pocong Lumutan itu.”
“Penting
kali itu rupanya ? Apa ada pocong yang ganteng ? Sudahlah tenang saja, kalau
jodoh nggak lari kemana. Ketiga mbak kau itu cantik-cantik juga seperti kau ?”
“Masih kalah tipis dari saya, Bang,
hi hi hi hi.”
“Pasti nama mereka juga seaneh nama
kau.”
“Mbak
saya pertama namanya Tirah, alias Kunti Merah, mbak yang kedua namanya Tijo, Kunti
Ijo dan mbak saya yang ketiga namanya Tiru, Kunti Biru.”
“Nama
yang aneh. Keluarga yang aneh. Hantu yang aneh.”
“Yo wis lah,
Bang. Nggak usah bunuh diri, capek Bang jadi arwah penasaran, gentayangan
terus. Begini, mulai besok tiap malam datang saja kemari biar tak ajari
lagu-lagu Jawa. Mau apa, belajar mocopatan atau nembang Dandhang Gulo, Yen Ing
Tawang Ono Lintang, Walang Kekek.”
“Apa itu
? Sudahlah lagu nya Didi Kempot saja, yang apa itu ... oh Sewu Kutho.”
Akhirnya
beberapa malam kemudian dia selalu datang rutin dan aku selalu mengajarinya
menyanyi lagu Jawa, semangatnya cukup tinggi dan suaranya memang bagus. Setelah
aku nyatakan lulus besoknya langsung Bang Marlon mempraktekkan hasil les nyanyi
lagu Jawanya di depan bapak pacarnya.
***
Beberapa
hari kemudian.
Bang Marlon
datang kembali menemuiku, kali ini aku suruh dia naik ke atas pohon tempat
tinggalku, dengan terpaksa dia ikuti perintahku. Wajahnya sumringah sepertinya
ia berhasil menyanyikan lagu Jawa hasil bimbinganku di depan bapak pacarnya.
“Terima
kasih Ning atas bantuannya, usahaku tidak sia-sia, aku berhasil menyanyikan
lagu Sewu Kutho dengan baik dan benar.”
“Gimana
Bang reaksi bapaknya ?”
“Dia cuma
manggut-manggut, sepertinya dia malu mengakui kekalahannya dan merestui
hubungan kami.”
“Hi hi
hi hi, saya juga lagi senang ini, Bang.”
“Kenapa,
diajak main film ?”
“Bukan,
itu mas Pocong Lumutan ternyata jatuh cintanya malah sama saya, Bang. Bukan
dengan mbak-mbak saya. Semalam dia datang ke rumah ...”
“Pohon
beringin !”
“Iya !
Iya pohon beringin, dia melihat saya dan langsung jatuh cinta pada pandangan
pertama, Bang.”
“Kenapa bisa begitu ?”
“Katanya
karena saya punya andheng-andheng di pipi, mirip Suzanna. Ternyata dia
penggemar berat mbak Suzanna.”
“Haduhhh,
benar kan hantu yang aneh”
“Hi hi
hi hi hi.”
Tiba-tiba
wajah bang Marlon berubah murung.
“Kenapa
lagi Bang ?”
“Ada
satu masalah lagi, Ning.”
“Apa
lagi, coba bilang mana tahu Tining bisa bantu lagi.”
“Ibunya
Wulan itu kan orang Minang, jadi dia pun minta supaya aku bisa nyanyi lagu Minang
juga, dengan baik dan benar.”
“Waduh
kalau gitu cari hantu lain lah, Bang !”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar