Halaman

Senin, 26 Agustus 2013

[BeraniCerita #24] Bukan Vivienne



Vivienne menatapku dengan mata yang basah. Untuk waktu yang lama kami berpelukan tanpa kata-kata. Isaknya terus mendera, menumpahkan begitu banyak beban yang terpendam. Apakah harus begini akhirnya Vivienne? Karir yang selalu kau damba-dambakan berujung pada air mata.
Vivienne seorang artis ternama yang sudah menetap di ibu kota sejak tiga tahun lalu. Meninggalkan desanya yang jauh di Sleman dan orang-orang yang sangat dicintainya. Mengejar impian jadi bintang film. Dipuja banyak orang. Hidup mewah penuh gemerlap. Kilatan blitz selalu menerpanya dimanapun berada. Santapan lezat media massa.
“Aku capek, aku mau berhenti,” ujarnya sambil melepaskan pelukan.
“Tapi jadi artis adalah impian yang selalu kau inginkan dari dulu, kau sudah berhasil,” aku berusaha menenangkannya.
“Aku nggak sanggup lagi, semua ini palsu. Aku harus bertopeng setiap hari.”
“Sudahlah, sabar semua ada konsekuensinya.”
Aku mengajak Vivienne duduk di sebuah kursi kayu yang ada di ruang tamu rumah kecilku ini. Aku memasukkan dua buah koper yang dia bawa tadi ke dalam rumah. Matanya masih basah.
“Duniaku sangat berat, kalau tidak bisa beradaptasi bisa cepat tergilas. Dituntut selalu tampil cantik. Setiap saat harus senyum ke semua orang yang memandang. Mencoba bersikap manis pada sesama artis padahal kami semua penuh intrik. Menciptakan citra baik di mata masyarakat. Sering tampil di media biar tetap eksis. Menciptakan gosip biar tetap dibicarakan orang. Bahkan kalau memungkinkan buatlah skandal biar tetap jadi buah bibir.”