Halaman

Minggu, 27 Januari 2013

Tining dan Marlon


Jogja berbintang malam ini. Namun masih saja sepi disini, apalagi semenjak bapak pergi entah kemana. Tinggal ibu dan ketiga mbakku yang juga tidak begitu peduli denganku. Seperti biasa sunyi malam ini. Aku cuma bisa memandangi sebuah jembatan di depan rumah yang jarang dilewati orang. Jembatan tua yang sudah hampir roboh dan banyak orang bilang angker karena sudah banyak orang yang nekat bunuh diri disitu. Tempat yang strategis untuk mati. Cuma sungai kecil yang mengalir dibawahnya masih merdu terdengar suara gemericik airnya.
Itu ada seorang pria lewat sendirian. Mau kemana sendirian jalan kaki malam-malam begini. Dari wajahnya kelihatan masih muda, mungkin usianya sekitar dua puluhan tahun. Raut wajahnya keras, sepertinya dia bukan orang sini. Dari tadi pria itu cuma mondar-mandir aja di tengah jembatan, apa dia mau bunuh diri juga. Sepertinya iya.
Dia berdiri di satu sisi jembatan, kepalanya sering melihat ke bawah, matanya dipejamkan, eh melek lagi. Melihat ke kanan ke kiri. Mundur beberapa langkah. Maju lagi. Kelihatannya masih bingung. Payah laki-laki kok nggak tetap pendiriannya. Tak samperin ah.
“Mau bunuh diri, Mas ?” sapaku.
Dia terkejut dan bisa melihatku, lalu mundur beberapa langkah.