Halaman

Rabu, 09 Oktober 2013

[BeraniCerita #30] Tak Menyatu



Sudah lima belas menit aku menunggu. Dia belum datang juga. Sebentar lagi kereta akan berangkat. Kereta yang setiap pagi selalu kami tumpangi untuk membawa kami ke tempat kerja di pusat kota. Penuh kaum urban pekerja keras pengais rejeki dari pinggir kota yang rela berdesakan demi mendapatkan bangku kosong dan ingin segera tiba ke tujuan.

Aku masih menunggunya di bangku kayu panjang yang ada di peron stasiun ini. Sebuah bangku yang menjadi saksi pertemuanku dengannya. Biasanya kami akan duduk disitu sambil menunggu salah satu dari kami yang datang belakangan. Kemudian kami  akan naik kereta yang sama dan duduk bersebelahan atau kadang juga berdiri berdekatan. Ketika sampai di stasiun tujuan, kami akan berpisah menuju tempat kerja masing-masing.

Sudah tiga bulan ini hubungan kami makin akrab. Tanpa sadar kami sudah saling menyebut kata sayang, aku juga tidak tahu mengapa bisa begitu nyaman bila berada di dekatnya. Aku selalu merasa bahagia bila bersamanya. Bahkan kadang setelah pulang kantor kami janjian di sebuah coffee shop untuk sekedar saling curhat masalah kerjaan atau keluarga. Pulang kerjapun kami akan selalu naik kereta yang sama.

Sabtu, 21 September 2013

Polisi Bollywood & Kumis

Pada era tahun 70 hingga 80-an perfilman bollywood banyak menampilkan peran-peran seorang polisi, entah itu sebagai tokoh antagonis maupun protagonis. Yang menarik, kebanyakan dari para polisi tersebut, penokohan fisiknya menambahkan tampilan kumis pada wajah, baik yang asli maupun buatan. Sekitar dua tahun belakangan ini peran seorang tokoh polisi atau tentara sebagai hero di dalam sebuah film bollywood kembali marak. Dan kebanyakan dari mereka semua tampilannya berkumis. Pemerannya pun diberikan kepada para aktor nomor wahid pencetak box office dan 3 Kings Khan (Shah Rukh, Aamir & Salman) pun ikut meramaikannya.
Hal ini bermula dari Salman Khan yang mencetak hit dengan filmnya Dabangg (2010) sebagai tokoh hero seorang polisi berkumis dan berkacamata. Karismanya memikat banyak penonton untuk membeli tiket, entah karena cerita filmnya atau karena tampilan baru Salman Khan yang berkumis. Karena laris dua tahun kemudian dibuatkan sekuelnya Dabangg 2 (2012). Yang jelas kemudian banyak aktor yang turut berperan sebagai tokoh seorang polisi atau pun tentara berkumis di film-film mereka.

Senin, 26 Agustus 2013

[BeraniCerita #24] Bukan Vivienne



Vivienne menatapku dengan mata yang basah. Untuk waktu yang lama kami berpelukan tanpa kata-kata. Isaknya terus mendera, menumpahkan begitu banyak beban yang terpendam. Apakah harus begini akhirnya Vivienne? Karir yang selalu kau damba-dambakan berujung pada air mata.
Vivienne seorang artis ternama yang sudah menetap di ibu kota sejak tiga tahun lalu. Meninggalkan desanya yang jauh di Sleman dan orang-orang yang sangat dicintainya. Mengejar impian jadi bintang film. Dipuja banyak orang. Hidup mewah penuh gemerlap. Kilatan blitz selalu menerpanya dimanapun berada. Santapan lezat media massa.
“Aku capek, aku mau berhenti,” ujarnya sambil melepaskan pelukan.
“Tapi jadi artis adalah impian yang selalu kau inginkan dari dulu, kau sudah berhasil,” aku berusaha menenangkannya.
“Aku nggak sanggup lagi, semua ini palsu. Aku harus bertopeng setiap hari.”
“Sudahlah, sabar semua ada konsekuensinya.”
Aku mengajak Vivienne duduk di sebuah kursi kayu yang ada di ruang tamu rumah kecilku ini. Aku memasukkan dua buah koper yang dia bawa tadi ke dalam rumah. Matanya masih basah.
“Duniaku sangat berat, kalau tidak bisa beradaptasi bisa cepat tergilas. Dituntut selalu tampil cantik. Setiap saat harus senyum ke semua orang yang memandang. Mencoba bersikap manis pada sesama artis padahal kami semua penuh intrik. Menciptakan citra baik di mata masyarakat. Sering tampil di media biar tetap eksis. Menciptakan gosip biar tetap dibicarakan orang. Bahkan kalau memungkinkan buatlah skandal biar tetap jadi buah bibir.”

Sabtu, 27 Juli 2013

[BeraniCerita #22] Tangga Itu


Tangga itu yang membuatku trauma. Tangga di rumah mertuaku ini. Aku pernah jatuh terpeleset disana. Tangga yang berada di ruang tengah rumah dua lantai ini yang mengubungkan lantai satu dengan sebuah kamar beserta kamar mandinya di lantai dua. Kamar kita sejak menjadi pasangan pengantin baru.
Aku tinggal ikut mertua karena kamu belum punya rumah sendiri. Itu tidak menjadi masalah buatku pada awalnya. Aku bisa beradaptasi dengan lingkungan dan suasana baru. Berbaur dengan mertua dan kedua adik perempuanmu. Aku harus bisa menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan keluarga ini. Aku harus berpura-pura manis didepan mertuaku walaupun sebenarnya aku sedang jengkel sama kamu. Lama-lama ini tidak membuatku nyaman.
          Tangga itu yang seharusnya jadi pemisah antara keluarga kecil kita dan keluarga besarmu. Aku ingin membangun keluarga sendiri. Tanpa ada campur tangan orang lain. Aku sudah bosan dengan sindiran ibu mertuaku ketika sedang berbicara dengan adikmu di lantai bawah. Kadang suaranya sedikit dikeraskan bila membahas tentang aku. Aku yang sering telat bangun pagi. Aku yang tidak bekerja. Aku yang tidak beres mengurus suami. Aku yang ini dan itu.
Hal ini berlangsung terus hingga lima tahun. Ditambah lagi keberadaanku yang belum hamil juga. Kamu kan tahu kita sudah pernah memeriksakan hal ini ke dokter kandungan dan kita berdua dinyatakan sehat. Bukan salahku jika sampai saat ini kita belum punya anak. Tuhan belum mempercayakannya pada kita. Tapi ibu mertuaku terus saja mempermasalahkan hal itu. Aku capek.

Jumat, 07 Juni 2013

Masih Ada Kereta Api ke Medan



Baru saja aku meletakkan tas ransel di rak barang atas dan hendak duduk, ketika seorang gadis menegurku dengan suara tegas. “Kursi ini masih kosong  Bang?” tanyanya. Aku mengangguk pelan tanda mengiyakan.
“Boleh aku yang duduk disebelah jendela, Bang?” sapanya kemudian.
“Silahkan,” dengan ragu ku jawab sambil tersenyum kecil. Sebenarnya aku tidak rela memberikan kursi di dekat jendela itu kepadanya karena aku selalu senang duduk di posisi itu kalau sedang naik kereta api. Sebagai seorang pria sudah seharusnya aku mengalah, mungkin dia yang lebih membutuhkan kenyamanan berada di posisi tempat duduk itu.
Para penumpang yang lain masih berlalu-lalang memilih tempat duduk karena di kereta api Sribilah Utama kelas ekonomi ini, pada tiketnya tidak tertera nomor kursi yang seharusnya kita duduki tetapi para penumpang dibebaskan memilih sendiri kursi yang hendak mereka tempati. Cara yang tidak efektif, semrawut dan membuat para penumpang berjubel saling merebut kursi.
Pukul 08.40 WIB peluit tanda keberangkatan dibunyikan dan tidak lama kemudian kereta api pun melaju perlahan menuju Medan dari stasiun kecil ini di Rantau Prapat. Membawaku pulang ke rumah. Tempat yang sudah kudiami sejak aku lahir dua puluh tahun yang lalu. Benarkah disana tempat aku pulang? Ataukah ada tempat lain yang sesungguhnya untuk aku pulang? Saat ini aku belum bisa menjawabnya.

Jumat, 31 Mei 2013

Becak Motor



             “Gimana ceritanya?”
            “Liburan semester kemarin teman satu kos ku, Togu mengajak pergi ke kampungnya di Kabanjahe, sekalian menjenguk orang tuanya disana,” Eben mengawali ceritanya. “Karena belum pernah menginap disana, saya memutuskan untuk menerima ajakannya.”
“Wah pasti seru ni pengalamannya, terus?”
“Orang tua Togu mempunyai tanah yang sangat luas. Mereka menanaminya dengan sayur-sayuran dan buah-buahan. Suasananya sangat nyaman dan lingkungannya begitu sejuk. Di sekeliling yang tampak cuma hamparan hijau tanam-tanaman dan langit biru yang begitu bersih beserta awan-awannya yang seakan bisa dipegang. Dari rumahnya juga tampak pemandangan gunung Sinabung yang tinggi menjulang. Udaranya sejuk sekali sekaligus beraroma magis.”
“Ben, ini horornya dimana?”
“Tenang dulu Bang, baru mau masuk ini,” Eben melanjutkan ceritanya. “Jadi gini, pada malam kedua kami menginap di kampung itu, aku iseng mengajak Togu jalan-jalan keluar rumah pada malam hari. Menyusuri perkebunan disekitar kampung. Saat itu sudah hampir tengah malam. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah bangunan kecil seperti rumah yang berada disekitar perkebunan jeruk yang letaknya kurang lebih 500 meter dari rumah Togu. Karena penasaran, aku sedikit mendekatinya dan ternyata itu adalah sebuah kuburan,” Eben menghela nafas sejenak.

Selasa, 02 April 2013

Perempuan



perempuan datang tanpa diundang
menyelinap atas nama kasih sayang
berkumandang
kau ajarkan terbang
menggapai siang

perempuan pergi tanpa pesan
atas nama takdir meninggalkan
berkesan
tak cukup kata ‘tuk merangkaikan
segala keindahan

perempuan itu datang lalu pergi
membungkus rahasia hati
bersemedi
belum siap ‘tuk merindui
sepi menanti

Sabtu, 02 Maret 2013

Sosok Idola Remaja



Beberapa tahun belakangan ini, kita sepertinya kehilangan seorang sosok idola remaja di film Indonesia. Tidak ditemukan lagi seorang tokoh sosok remaja yang bisa dijadikan panutan atau setidaknya gaya dan penampilannya mempengaruhi para penonton film remaja. Banyak pembuat film yang menyajikan tokoh utama seorang remaja namun sosoknya masih belum ada yang mampu menjadikannya seorang idola dan perannya begitu fenomenal sehingga bakalan diingat terus dan menjadi legenda.
Seperti yang kita tahu, pada era tahun 80-an, para remaja pada masa itu sangat mengidolakan sosok Galih yang diperankan dengan baik oleh Rano Karno di film Gita Cinta Dari SMA dan Puspa Indah Taman Hati. Sosok remaja yang sederhana namun romantis dengan lika-liku asmaranya bersama kekasihnya Ratna yang diperankan oleh Yessy Gusman. Kala itu banyak remaja pria yang ingin terlihat seperti Galih. Karena Galih pula banyak remaja pria saat itu yang mulai senang menumbuhkan kumis tipis mereka.

Kamis, 28 Februari 2013

Antara Semua Usia, Remaja dan Dewasa



Saya sangat iri dengan anak-anak ABG sekarang. Kalau mau nonton di bioskop mereka tinggal beli tiket dan langsung masuk. Meskipun di poster film terdapat tulisan “Untuk Dewasa”. Pengklasifikasian usia untuk menonton film sudah tidak begitu berpengaruh. Pihak bioskop juga sudah tidak peduli. Yang penting mereka bisa beli tiket untuk film yang mereka ingin tonton. Jadi apa gunanya Lembaga Sensor Film mengeluarkan klasifikasi film untuk kategori semua usia, untuk remaja dan untuk dewasa ?
Saya jadi ingat pengalaman saya menonton film di bioskop waktu masih kecil. Kedua orang tua saya senang nonton film ke bioskop terutama film Indonesia. Waktu itu sekitar awal tahun 80-an dan usia saya masih sekitar delapan tahun. Kami tinggal di Jogja. Seingat saya, kedua orang tua saya membawa saya pergi ke bioskop di daerah sekitar alun-alun keraton Jogja naik sepeda.
Film yang diputar adalah Perkawinan Nyi Blorong (1983) yang dibintangi oleh Suzanna dan Clift Sangra. Film ini memang dikategorikan dalam klasifikasi usia untuk tontonan 17 tahun ke atas. Jadi bukan untuk konsumsi anak kecil seperti saya. Setelah membeli tiket masuk ke bioskop, kami pun antri mau masuk ke dalam gedung bioskop.

Minggu, 27 Januari 2013

Tining dan Marlon


Jogja berbintang malam ini. Namun masih saja sepi disini, apalagi semenjak bapak pergi entah kemana. Tinggal ibu dan ketiga mbakku yang juga tidak begitu peduli denganku. Seperti biasa sunyi malam ini. Aku cuma bisa memandangi sebuah jembatan di depan rumah yang jarang dilewati orang. Jembatan tua yang sudah hampir roboh dan banyak orang bilang angker karena sudah banyak orang yang nekat bunuh diri disitu. Tempat yang strategis untuk mati. Cuma sungai kecil yang mengalir dibawahnya masih merdu terdengar suara gemericik airnya.
Itu ada seorang pria lewat sendirian. Mau kemana sendirian jalan kaki malam-malam begini. Dari wajahnya kelihatan masih muda, mungkin usianya sekitar dua puluhan tahun. Raut wajahnya keras, sepertinya dia bukan orang sini. Dari tadi pria itu cuma mondar-mandir aja di tengah jembatan, apa dia mau bunuh diri juga. Sepertinya iya.
Dia berdiri di satu sisi jembatan, kepalanya sering melihat ke bawah, matanya dipejamkan, eh melek lagi. Melihat ke kanan ke kiri. Mundur beberapa langkah. Maju lagi. Kelihatannya masih bingung. Payah laki-laki kok nggak tetap pendiriannya. Tak samperin ah.
“Mau bunuh diri, Mas ?” sapaku.
Dia terkejut dan bisa melihatku, lalu mundur beberapa langkah.