Halaman

Jumat, 07 Juni 2013

Masih Ada Kereta Api ke Medan



Baru saja aku meletakkan tas ransel di rak barang atas dan hendak duduk, ketika seorang gadis menegurku dengan suara tegas. “Kursi ini masih kosong  Bang?” tanyanya. Aku mengangguk pelan tanda mengiyakan.
“Boleh aku yang duduk disebelah jendela, Bang?” sapanya kemudian.
“Silahkan,” dengan ragu ku jawab sambil tersenyum kecil. Sebenarnya aku tidak rela memberikan kursi di dekat jendela itu kepadanya karena aku selalu senang duduk di posisi itu kalau sedang naik kereta api. Sebagai seorang pria sudah seharusnya aku mengalah, mungkin dia yang lebih membutuhkan kenyamanan berada di posisi tempat duduk itu.
Para penumpang yang lain masih berlalu-lalang memilih tempat duduk karena di kereta api Sribilah Utama kelas ekonomi ini, pada tiketnya tidak tertera nomor kursi yang seharusnya kita duduki tetapi para penumpang dibebaskan memilih sendiri kursi yang hendak mereka tempati. Cara yang tidak efektif, semrawut dan membuat para penumpang berjubel saling merebut kursi.
Pukul 08.40 WIB peluit tanda keberangkatan dibunyikan dan tidak lama kemudian kereta api pun melaju perlahan menuju Medan dari stasiun kecil ini di Rantau Prapat. Membawaku pulang ke rumah. Tempat yang sudah kudiami sejak aku lahir dua puluh tahun yang lalu. Benarkah disana tempat aku pulang? Ataukah ada tempat lain yang sesungguhnya untuk aku pulang? Saat ini aku belum bisa menjawabnya.
Aku perhatikan gadis disebelahku ini sekilas. Ia berseragam putih abu-abu dan mengenakan jilbab, menandakan ia seorang pelajar SMA. Membawa sebuah tas sekolah berbentuk ransel berwarna hitam yang selalu dipangkunya. Tapi mengapa pagi-pagi begini sudah ada di kereta api, bukankah seharusnya ia berada di dalam sekolah dan sedang belajar karena ini masih hari sabtu? Sebenarnya itu bukan urusanku, cuma penasaran saja, mungkin dia kabur dari rumah atau mungkin ada keperluan mendadak yang mengharuskannya pergi ke Medan.
 
Aku tidak terbiasa membuka percakapan dengan orang yang belum aku kenal. Walaupun hanya untuk sekedar berbasa-basi. Kereta api mulai cepat melaju dan ia masih saja memandang ke arah jendela. Namun kali ini naluriku ingin tahu lebih banyak tentang dia.
“Turun dimana, Dik?” sapaku mencoba membuka percakapan.
“Di Medan,” jawabnya sambil menoleh kepadaku
“Kamu bolos sekolah?” tanyaku yang sangat basa-basi.
“Iya, aku kabur dari rumah, Bang,” lugas dia menjawab.
“Oh...,” aku tidak bisa berkata-kata lagi.
Aku mencoba membetulkan letak posisi kacamataku. Dia tersenyum ringan. Tiba-tiba ia membuka jilbab yang menutupi kepalanya. Tampak potongan rambut lurusnya yang pendek. Ia merapikan sebentar rambutnya dengan kedua tangannya. Aku pura-pura tidak melihatnya. Lalu perlahan dia membuka satu-persatu kancing baju lengan panjang putihnya tanpa sungkan-sungkan. Membukanya, melipatnya dan langsung memasukkannya bersama kain kerudung yang ia kenakan tadi ke dalam tas. Ia masih memakai kaos warna hitam di balik bajunya tadi. Kaos bergambar grup band rock lawas luar negeri beserta tulisan nama grup band tersebut.
Para penumpang disamping kami melirik sambil penuh tanda tanya di kepala mereka. Tapi sepertinya dia tidak mempedulikan itu semua. Kebetulan tempat duduk kami berada paling ujung dari gerbong kereta api sehingga tidak ada penumpang yang menghadap ke arah kami dan posisi kami pun menghadap ke dinding gerbong kereta api.
Adegan ganti baju ini masih terus ia lanjutkan. Kali ini sambil berdiri ia membuka rok panjangnya dengan cepat dan di dalamnya ternyata ia sudah menggunakan celana panjang jeans biru gelap. Kemudian ia melipat dan memasukkan roknya ke dalam tas sambil tetap tenang. Aku membetulkan posisi dudukku. Sepertinya ia sudah mempersiapkan betul-betul rencana kaburnya ini terlebih dahulu.
Tak seberapa lama ia membuka saku tas di bagian depan dan mengambil sesuatu dari dalamnya. Sebuah kalung perak berbandul tengkorak yang juga berwarna perak. Kemudian mengalungkan ke lehernya. Ia juga mengambil sebuah gelang bernuansa etnik dan langsung mengenakannya. Seorang gadis manis berkerudung sudah bertransformasi menjadi seorang lady rocker dalam sebuah kereta api.
“Aku tidak terbiasa memakainya, gerah Bang,” ia memberi tahu seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan. “Lagian biar nggak ada lagi yang nanya seperti pertanyaan abang tadi,” lanjutnya.
“Kamu seperti Superman, kenapa nggak di toilet ganti bajunya biar nggak ada yang tahu?”
“Di toilet kereta api? Bau pesing, jorok!”
“Orang-orang jadi pada ngelihatin kamu tadi.”
“Biar aja, pada nggak kenal sama aku juga.” 
“Jadi kamu tadi berjilbab untuk menyamar.”
“Aku berjilbab ketika sekolah aja, Bang.”
Deru laju kereta masih kencang. Di luar sedikit mendung. Dari jendela kereta tampak barisan kelapa sawit yang tersusun rapi. Kemudian sesekali melewati pemukiman pedesaan yang dihiasai persawahan yang menghijau. Dia terdiam dan seakan menahan rasa kantuk. Wajahnya menyiratkan ada rasa amarah yang terpendam.
“Kenapa kamu mau kabur dari rumah?” aku mencoba berdialog lagi. “Apa kamu dipaksa kawin sama orang tuamu?” Dia cuma tersenyum. Manis.
“Capek Bang, diomelin terus di rumah. Semua yang aku lakuin nggak pernah benar di mata mereka. Ribut terus di rumah. Selalu aku yang salah. Selalu aku yang kena marah. Kadang iri sama adikku yang nggak pernah kena marah. Selalu aku yang jadi antagonisnya. Ini salah, itu salah. Semua dilarang. Suntuk!” jawabnya dengan tenang bernada kesal.
“Terus kamu kabur, biar dicariin, biar diperhatiin, biar merasa dibutuhin. Apa kamu pernah berpikir, apakah yang kamu lakukan itu memang sudah benar?”
“Keluar rumah jangan lama-lama, pacaran dilarang, bergaul dibatasi, ngeband pun nggak direstui, semuanya nggak boleh. Aku pengen bebas, nggak ada yang ngelarang, nggak ada yang bawel.”
“Mereka marah sama kamu karena mereka sayang sama kamu. Kalau mereka nggak pernah ngomelin kamu berarti mereka sudah nggak sayang lagi, sudah nggak mau peduli sama kamu.”
“Sok tua!”
Dia memalingkan tubuhnya ke jendela. Menikmati angin yang menerpa wajahnya. Memejamkan matanya, menunduk berpangku pada tas hitamnya. Suara kereta api terdengar seirama dengan goyangan gerbong yang terus melaju. Aku mengambil sebuah buku dari dalam tas, mencoba menyelesaikan bacaan sambil membunuh waktu di perjalanan ini.
Kereta api berhenti sejenak di sebuah stasiun kecil di daerah Kisaran. Penumpang ada yang turun dan ada juga yang naik. Kembali riuh. Para pedagang asongan mulai naik ke gerbong menjajakan dagangannya. Aku membeli minuman ringan dan sejumlah permen. Dia terbangun karena kebisingan ini.
“Udah sampai mana, Bang?”
“Kisaran.”
“Mau minum?”
Dia menggelengkan kepalanya. Kemudian ia mengambil sebuah permen dari dalam tasnya dan memakannya. Kereta api kembali melaju.
“Rencananya di Medan mau tinggal dimana?”
“Belum tahu, aku mau menjumpai temanku dulu.”
“Teman atau pacar?”
“Kenalan dari facebook, dia anak kuliahan dan tinggalnya di Medan.”
“Laki-laki?” dia mengangguk. “Hati-hati sekarang banyak penipuan dan penculikan.”
Terdengar suara tangisan balita dari penumpang di samping kami. Sebuah keluarga dengan tiga orang anak. Si ibu berusaha menenangkan balitanya yang sedang menangis. Dia memperhatikannya. Aku lanjutkan membaca.
“Dalam rangka apa Abang ke Medan?” dia mencoba membuka percakapan lagi. Aku menutup buku bacaanku.
“Pulang. Rumahku di Medan.”
“Jadi di Rantau Prapat ngapain?”
“Mencari orang tua kandung.”
“Ehm...,” dia seperti terkejut.
“Aku anak tunggal. Satu tahun yang lalu ibuku meninggal karena sakit,” entah kenapa aku ingin bercerita kepadanya. “Dan empat bulan yang lalu ayahku pun ikut menyusul ibu, namun sebelum meninggal beliau bercerita bahwa aku bukan anak kandung mereka. Aku sangat terpukul. Ayah memberitahu bahwa mereka mengadopsiku dulu dari sebuah keluarga yang kurang mampu. Kemudian ayah memberiku sebuah alamat dimana orang tuaku tinggal sekarang. Awalnya aku tidak ingin mencari mereka karena aku menganggap ayah dan ibu adopsikulah orang tuaku yang sesungguhmya.”
“Lama-kelamaan aku merasa kosong, kesepian,” aku melanjutkan ceritaku. “Aku merindukan sosok orang tua. Hari-hari yang kulakukan cuma kuliah dan bermain. Aku rindu dibuatkan masakan, aku rindu dimarahin, aku rindu ditanya kalau aku kelamaan pergi. Pokoknya aku rindu omelan mereka. Serasa ada yang kurang. Hampa. Dan aku sadar apa yang pernah mereka ucapkan itu benar adanya. Sejak itu aku ingin menjumpai kedua orang tua kandungku. Aku harus menemukannya. Aku belum pernah sekalipun membahagiakan orang tuaku, belum pernah membalas jasa-jasa mereka yang tak terhingga. Mungkin dengan menemukan kedua orang tua kandungku, aku masih bisa membalas membahagiakan orang tua melalui mereka.”
“Abang sudah bertemu degan mereka?”
“Belum. Kata orang yang telah menempati rumah orang tua kandungku kini, mereka sudah pindah ke daerah Perbaungan ikut anak mereka yang tertua. Mungkin minggu depan aku akan mencari mereka lagi.”
“Maaf, Abang jadi teringat masa lalu.”
“Nggak apa-apa. Aku dulu juga seperti kamu, suka kesal kalo dimarahin. Tapi aku tidak berniat kabur.”
“Boleh minta air minumnya, Bang?”
Kenangan-kenangan itu selalu jadi pembelajaran buatku. Semoga dia juga akan cepat menyadarinya. Bahwa orang tua akan selalu menyayangi anak mereka dan terus berjuang demi membahagiakannya. Sementara kereta api masih setia menyisiri relnya dengan laju mengantar para penumpang ke tempat tujuan.
Kali ini kereta api berhenti di stasiun Tebing Tinggi, kembali menurunkan dan menaikkan para penumpang. Pedagang asonganpun tak henti-hentinya menjajakan dagangannya. Meski kadang memaksa para penumpang untuk membelinya. Tak lama kemudian kereta api pun bergegas melaju menyusuri jalannya. Sesekali tampak perkebunan karet dan aliran sungai kecil dari balik jendela.
“Kita udah ngobrol banyak tapi kita belum kenalan, Bang.”
“Oh iya, namaku Andi,” aku menjulurkan tangan.
“Aku Tia,” kami bersalaman.
“Boru apa?”
“Nggak ada, aku orang Jawa, kalo marga Abang?”
“Ternyata aku bermarga Siregar.”
Dia mulai tertawa. Perjalanan ini pun terus kami isi dengan obrolan-obrolan ringan. Wajahnya sudah mulai berubah lebih ceria. Waktu menunjukkan hampir jam dua ketika kereta api kami pun sampai di stasiun Besar Medan. Di depan sudah banyak para penjemput dan becak-becak motor berjajar menunggu para penumpang. Kami berjalan beriringan. Sampai disinikah pertemuanku dengannya? Haruskah ini cepat berakhir? Mengapa ada rasa ingin bertemu lagi dengannya?
“Dimana alamat temanmu yang di Medan itu?” tanyaku ketika kami sudah berada di depan stasiun. Dia berhenti sejenak tidak memberikan jawaban.
“Biar aku tunjukkan angkotnya atau mau naik becak motor saja?” lanjutku.
“Bang, aku putuskan untuk pulang saja ke Rantau Prapat, ke rumah orang tuaku,” tiba-tiba ia berubah pikiran.
“Kenapa? Nggak jadi kabur?” sebenarnya aku senang mendengar keputusannya.
“Aku takut. Aku merasa asing disini.”
“Ya, sudah. Itu keputusanmu yang terbaik. Pulanglah, minta maaflah pada orang tuamu dan jangan coba kabur lagi. Nikmati saja omelan mereka, mumpung kamu masih bisa mendengarnya.”
“Makasih Bang, udah jadi teman seperjalanan yang menyenangkan.”
“Sama-sama, lebih baik kita makan dulu yuk. Jadwal kereta api ke Rantau Prapat yang paling cepat sekitar jam tiga lewat.”
Dia pun menuruti ajakanku. Akhirnya kami memutuskan untuk makan siang bareng di sebuah restoran di kawasan Merdeka Walk sambil menunggu jam keberangkatan kereta api. Selepas makan kami berjalan kaki melewati lapangan Merdeka menuju stasiun Besar. Hari ini cuaca Medan begitu cerah, tidak seperti biasanya yang sudah hampir seminggu ini turun hujan terus.
“Tia, boleh pinjam kain kerudung kamu tadi?” tanyaku setelah kami sampai di depan stasiun.
“Untuk apa?” jawabnya heran sambil mengambil kain kerudung dari dalam tasnya.
Aku pegang kerudung itu lalu perlahan aku pasangkan di kepalanya. Dia sedikit terkejut namun kemudian dia membantu memasangkannya.
“Kamu kelihatan lebih cantik kalau memakainya.”
“Mulai merayu ya. Apakah nanti aku bisa ketemu lagi sama bang Andi?”
“Kan masih ada kereta api yang ke Medan.”
Kami tertawa bersama. Kali ini tawanya tampak paling merekah.
“Oh ya, Bang, punya tisu?”
“Aduh, nggak ada”
“Kalo nomor HP punya kan?”
“Hahaha... Garing.”
Aku percaya bahwa suatu perjalanan adalah menemukan. Bahkan perjalanan yang sudah biasa kita lalui pun akan menemukan adanya hal-hal baru. Meskipun dalam perjalanan untuk menemukan sesuatu yang aku cari kali ini  belum berhasil, namun ada sesuatu hal lain yang telah kutemukan. Cinta. Ya cinta.

4 komentar:

  1. #angguk2

    omelan orang tua itu juga yang sering saya rindukan saat ini masbud. :)
    apa pun yang ada memang sebaiknya dinikmati entah itu pahit atau manis. :)

    BalasHapus
  2. Casinos Near Casino Wyndham, NY - MapYRO
    Search 여주 출장샵 for Casinos Near Casino Wyndham. 경상남도 출장마사지 Get directions, reviews and information for 여주 출장샵 Casinos Near Casino Wyndham 경상북도 출장마사지 in 의정부 출장마사지 Wyndham, NY.

    BalasHapus