Halaman

Jumat, 31 Mei 2013

Becak Motor



             “Gimana ceritanya?”
            “Liburan semester kemarin teman satu kos ku, Togu mengajak pergi ke kampungnya di Kabanjahe, sekalian menjenguk orang tuanya disana,” Eben mengawali ceritanya. “Karena belum pernah menginap disana, saya memutuskan untuk menerima ajakannya.”
“Wah pasti seru ni pengalamannya, terus?”
“Orang tua Togu mempunyai tanah yang sangat luas. Mereka menanaminya dengan sayur-sayuran dan buah-buahan. Suasananya sangat nyaman dan lingkungannya begitu sejuk. Di sekeliling yang tampak cuma hamparan hijau tanam-tanaman dan langit biru yang begitu bersih beserta awan-awannya yang seakan bisa dipegang. Dari rumahnya juga tampak pemandangan gunung Sinabung yang tinggi menjulang. Udaranya sejuk sekali sekaligus beraroma magis.”
“Ben, ini horornya dimana?”
“Tenang dulu Bang, baru mau masuk ini,” Eben melanjutkan ceritanya. “Jadi gini, pada malam kedua kami menginap di kampung itu, aku iseng mengajak Togu jalan-jalan keluar rumah pada malam hari. Menyusuri perkebunan disekitar kampung. Saat itu sudah hampir tengah malam. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah bangunan kecil seperti rumah yang berada disekitar perkebunan jeruk yang letaknya kurang lebih 500 meter dari rumah Togu. Karena penasaran, aku sedikit mendekatinya dan ternyata itu adalah sebuah kuburan,” Eben menghela nafas sejenak.
        “Sepertinya Togu tahu apa yang sedang aku lihat, kemudian dia menjelaskan bahwa memang masyarakat disini sering menguburkan anggota keluarganya yang telah meninggal dunia di pekarangan perkebunan mereka sendiri. Mereka beranggapan bahwa arwah-arwah anggota keluarga tersebut akan turut menjaga perkebunan mereka dari para pengganggu. Kemudian Togu cepat-cepat mengajak kembali pulang ke rumahnya.”
“Lalu?”
“Sambil berjalan pulang, tanganku iseng memetik sebuah jeruk dari pohon yang ada di pingir jalan karena buahnya kulihat sudah matang dan tampaknya manis, lumayan untuk menghilangkan sementara hausku. Tapi Togu melarangku, jangan dipetik sebelum minta ijin dengan yang punya, katanya. Terlambat, sudah terlanjur kupetik jeruknya, lagi pula aku tidak tahu siapa yang punya. Tidak seberapa lama kami berjalan tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dibelakang kami. Suara itu selalu mengikuti kemana kami berjalan, semakin lama semakin jelas. Aku perhatikan Togu diam saja dan terus mempercepat jalannya. Kemudian...”
“Ya, kemudian...?”
“Aku berhenti, aku ingin tahu siapa yang mengikuti kami. Aku menoleh ke belakang. Tampak seperti seorang laki-laki kurus berambut gondrong berbadan gelap dan wajahnya tidak begitu jelas kelihatan. Dia tidak memakai baju. Berjalan pelan mendekatiku, semakin dekat dan semakin dekat. Aku ingin berlari namun kakiku tak bisa digerakkan. Terpaku di tanah. Aku terus memandangi orang itu. Mataku tidak bisa memandang ke tempat lain, selalu tertuju padanya. Semakin kulihat orang itu sepertinya badannya juga semakin tinggi. Lama-lama kulihat badannya semakin menjulang, semakin menakutkan. Dan tangannya yang memanjang mulai menjangkau leherku seperti ingin mencekik. Tiba-tiba dari kejauhan aku mendengar suara Togu berteriak, picingkan matamu jangan melotot, picingkan dan kembalikan jeruk itu! Togu terus-menerus berteriak seperti itu. Kupicingkan mataku dan berusaha untuk tidak menatapnya sambil melemparkan buah jeruk yang ada di genggamanku. Aku masih tetap terpaku dan orang itu mulai mengeluarkan suara yang semakin menyeramkan. Tangannya hampir menyentuh leherku, namun terasa ada yang menarik tanganku dengan kuat dan terus menuntunku berlari. Tanpa berpikir panjang aku terus berlari sekencang-kencangnya mengikuti tarikan tangannya. Ternyata Togu yang menarik tanganku,” Eben berhenti sejenak.
“Kami berdua terus berlari tanpa tahu arah, menyusuri perkebunan, menerobos pohon-pohon yang ada di depan kami. Yang ada dipikiran kami hanyalah menghindar sejauh mungkin dari tempat tadi. Setelah kami rasa cukup jauh kami berlari, aku memutuskan untuk berhenti sebentar, mengatur nafasku yang ngos-ngosan. Aku terduduk lemas, Togu ikut duduk mendekatiku. Tanpa diminta Togu menjelaskan apa yang kulihat tadi. Tadi itu namanya Begu Ganjang atau hantu panjang. Masyarakat disini percaya mereka ada dan katanya ada beberapa orang yang memeliharanya untuk menjaga perkebunan mereka dan bisa membinasakan orang lain atas perintah pemeliharanya. Menurut cerita dari mulut ke mulut, Begu Ganjang di zaman dulu sengaja dipelihara oleh warga untuk menjaga ladang atau lahan pertanian. Di zaman sekarang fungsi Begu Ganjang berubah yaitu untuk mencari kekayaan. Si pemilik Begu Ganjang, konon, harus membunuh seseorang untuk memuluskan niat memperoleh harta itu. Dalam pikiranku cuma ingin cepat pulang sampai di rumah.”
“Lalu kalian pulang?”
“Belum, kami tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Pokoknya aku tanpamu butiran debu lah. Hahaha... Kami terus berjalan dan tak lama kemudian kami menemukan sebuah bangunan gubuk beratap daun ilalang dan berdinding bambu. Dari dalam gubuk tampak ada cahaya lampu, menandakan ada yang sedang menghuni gubuk tersebut. Togu bilang, itu tempat para peronda malam berkumpul sambil bercengkerama. Tempat ronda tapi berada di tengah-tengah perkebunan. Kami memutuskan untuk kesana sambil menanyakan arah jalan pulang. Sesampainya di gubuk itu, Togu mengetuk pintu dan seorang bapak tua membukakan pintu sedikit saja seperti mengintip. Togu bertanya pada bapak itu menggunakan bahasa Batak Karo tentang alamat kami. Rupanya bapak itu kenal dengan Togu dan kemudian mereka saling berbincang akrab. Aku mengintip dari sela pintu yang terbuka, tampak masih ada empat orang lagi di dalam sambil menonton televisi dan di meja tersusun beberapa botol dan gelas berisi minuman yang belum habis. Tapi sepertinya yang sedang mereka tonton bukan siaran televisi. Di bawah televisi ada sebuah dvd player sedang menyala. Mereka begitu serius menontonnya.”
“Lalu kalian memutuskan untuk ikut menonton disana?”
“Tidak, setelah tahu arah pulang, kami langsung cepat-cepat pulang. Kami tidak pernah menceritakan kejadian ini kepada orang tua Togu. Besoknya aku memutuskan untuk segara kembali ke Medan. Nah itu tadi pengalaman hororku ketemu sama Begu Ganjang, terima kasih, Bang” Eben mengakhiri ceritanya.  
“Oke sobat Medan itu tadi pengalaman Eben dari Padangbulan yang menceritakan pengalaman horornya bertemu Begu Ganjang di Kabanjahe. Masih bersama saya, Reza di Horas Radio 104.4 FM radionya sobat Medan semua, dalam program acara kamis malam ini, ‘Becak Motor’ bercerita akrab ngomongin tentang horor,” sang penyiar terus melanjutkan acaranya. “Saya akan terus menemani sobat Medan selama satu jam penuh, mulai dari jam sebelas malam hinga tengah malam nanti, saya masih menunggu penelepon berikutya yang mau berbagi cerita bersama tentang pengalaman-pengalaman horornya.”
“Halo...”
“Tampaknya sudah ada penelepon lagi, halo selamat malam, dengan siapa ini?”
“Halo, selamat malam, nama saya Maruli di Mandala.”
“Baiklah bang Maruli, punya cerita horor yang bisa dibagi buat para pendengar kita kali ini?”
“Nggak tahu juga ini cerita horor atau bukan,” Maruli mulai bercerita. “Saya seorang supir angkot. Malam itu sekitar hampir jam dua belas malam dan saya masih mencari penumpang. Saat itu sedang sepi dan angkot saya tidak ada penumpangnya. Ketika melewati daerah rumah sakit umum Dr. Pirngadi, tampak di depan seorang wanita sedang merentangkan tangan kanannya memberi isyarat ingin naik angkot saya. Pakaiannya putih-putih dengan rambut sebahu. Wajahnya pucat kelelahan. Dengan ragu saya menghentikan angkot saya. Naikklah wanita itu ke dalam angkot saya tanpa suara.”
“Perasaan bang Maruli gimana saat itu?”
“Agak takut juga sedikit. Sepanjang perjalanan dia diam saja. Saya pun diam saja antara takut dan sudah capek juga seharian nyetir angkot. Sesekali saya perhatikan lewat kaca spion depan. Wajahnya tegang seperti ketakutan juga dan dia sering menutup hidungnya dengan sebelah tangannya. Mungkin dia mencium aroma tidak sedap dari angkot saya. Soalnya tadi sore ada penumpang seorang ibu, pulang dari belanja membawa sebungkus plastik berisi ikan yang tumpah di angkot karena plastiknya pecah. Jadi aroma amisnya masih tertinggal di angkot karena belum sempat saya bersihkan. Wanita itu diam terus mematung nggak mau melihat ke arah saya.”
“Apa tidak ada penumpang lain lagi yang naik, Bang?”
“Tidak ada. Setelah melewati terowongan jalan tol Tembung, dia meminta berhenti. Kenapa minta turun disini, saya bertanya dalam hati. Saya mulai merinding. Tahu sendiri kan bahwa di terowongan jalan tol Tembung ini sering terjadi penampakan-penampakan kuntilanak. Apalagi waktu gerimis di tengah malam, para pengendara sepeda motor sering diganggu,” sambung Maruli. “Wanita itu memilih turun tidak jauh dari terowongan tersebut. Setelah turun dia buru-buru membuka dompetnya lalu mengambil uang kertas selembar dan menyerahkannya kepada saya tanpa melihat wajah saya. Tanpa berpikir panjang dan mungkin karena suasana yang menghororkan, dengan cepat saya mengambil uang darinya dan langsung tancap gas tanpa melihat wanita itu. Tapi kemudian saya mendengar wanita itu berteriak dari kejauhan, “Woiii angkot setan! Kembaliannya mana!” Kok saya malah dimaki angkot setan, kemudian saya perhatikan uang yang wanita itu berikan tadi. Ternyata dia memberikan selembar uang lima puluh ribuan. Pantas dia meminta uang kembaliannya dan dia juga ternyata bukan hantu.”
“Hahaha, mungkin dia perawat yang baru pulang kerja dari rumah sakit, Bang.”
“Iya, saya sudah terbawa takut duluan jadi bawaannya parno terus.”
“Bang Maruli sudah lama jadi supir angkot?”
“Baru tiga bulan, ini juga karena terpaksa karena belum juga dapat kerja setelah lulus jadi sarjana.”
“Oke baiklah, terima kasih bang Maruli atas cerita pengalamannya diteriaki angkot setan. Masih di Horas Radio 104.4 FM radionya sobat Medan bersama saya Reza disini dalam acara ‘Becak Motor’ bercerita akrab ngomongin tentang horor, di kamis malam ini. Karena sudah hampir tengah malam, saya menunggu penelepon terakhir yang mau berbagi cerita mengenai pengalaman horornya disini. Oh tampaknya sudah ada penelepon yang masuk, halo...”
“Halo” suaranya kelihatan datar.
“Dengan siapa dan dimana?”
“Saya Yasmin, Bang. Di jalan Cut Nyak Dien.”
“Akhirnya ada cewek yang nelepon, alamatnya deket dong dengan studio kita, oke Yasmin silahkan berbagi ceritanya.”
“Mungkin abang sudah pernah dengar cerita ini.”
“Cerita yang mana? Kalaupun saya sudah pernah mendengarnya tapi para pendengar yang lain mungkin ada yang belum pernah mendengar, coba Yasmin ceritakan pengalaman Yasmin ini.”
“Begini bang Reza, beberapa waktu yang lalu ada seorang cewek mati dibunuh dan mayatnya dibuang di semak-semak sekitar kampus fakultas kedokteran USU.”
“Ya, saya juga tahu beritanya, kejadiannya itu kan di kampus saya sekarang. Seorang cewek yang dibunuh setelah diperkosa beberapa laki-laki tidak dikenal. Terus mayatnya dibuang begitu saja. Tapi beberapa hari kemudian mayatnya kan sudah ditemukan.”
“Bener, Bang.”
“Yasmin kenal sama cewek itu?” tanya sang penyiar.
“Kenal, Bang. Tapi pembunuhnya belum ditemukan. Yasmin minta tolong supaya pembunuhnya lekas ditemukan.”
            “Kita semua berdoa semoga pembunuhnya cepat ditemukan, kan kasusnya sudah ditangani sama yang berwajib.”
            “Tapi saya ingin bang Reza yang membantu menemukan pembunuhnya.”
“Gimana caranya? Saya bukan polisi.”
“Yasmin ingin ketemu sama bang Reza.”
“Yasmin kan rumahnya di dekat sini, coba datang saja kemari, kita bisa saling ngobrol, tapi jangan sekarang, sudah larut malam ini.”
“Yasmin sudah ada di depan, Bang.”
“Di depan mana?”
“Di pohon depan studio ini, Bang”
“Jangan bercanda, saya cuma berdua ini sama operator radionya.”
“Hihihi...”
“Sudah ya, jangan bercanda atau saya putusin ni teleponnya.”
Reza mulai merinding dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Dari tadi saya sudah ada di pohon besar ini, Bang, bahkan saya sudah duduk bareng di mobil bang Reza waktu sepulang dari kampus tadi.”
“Jadi kamu sudah ngikutin aku dari kampus sampai aku menuju tempat siaran ini?”
“Hihihi...”
Reza membuka headphone yang ada di telinga, menjauh dari kursi siarannya. Mencoba menutup kedua telinga dengan tangan. Mondar-mandir sambil memandangi teman operatornya.
“Pantas tadi waktu di daerah kampus seperti ada yang duduk di jok belakang mobil.”
“Saya naik mobil abang dari pohon beringin dekat pendopo kampus, Bang”
“Apakah Yasmin mahasiswa yang terbunuh itu?”
“Hihihi..., bener, Bang”
Reza tak bisa berkata-kata lagi, dia cuma memandangi sang operator radionya yang juga tampak kebingungan.
“Kenapa Yasmin memilih saya.”
“Karena dari dulu Yasmin selalu mengagumi abang, sebagai anak baru di kampus, Yasmin selalu memperhatikan bang Reza yang sudah senior di kampus. Yamin sudah jatuh hati sama abang.”
Reza terus memperhatikan sang operator radio dan mengajaknya masuk ke ruang siaran.
“Bang, Bang matikan saluran teleponnya,” perintah Reza kepada sang operator.
“Iya ini udah, tapi suaranya kok masih ada,” jawab sang operator.
Suara lengkingan Yasmin tidak berhenti dan tidak bisa dihentikan, terus memenuhi siaran radio malam itu.
“Gimana ini!”
“Hihihi...”
“Cabut kabelnya, Bang”
“Sudah!”
Saluran radio itu masih terus mengumandangkan suara Yasmin.
“Matikan! Matikan!”
“Hihihi...”
“Tolong!”

1 komentar: