Halaman

Rabu, 19 Oktober 2011

Bapak


Bapak,
Maaf aku tidak bisa melihat wajahmu untuk yang terakhir kalinya. Wajah yang selalu penuh senyum dengan guratan-guratan ketabahan dan kesabaran yang terpatri. Dihiasi kumis yang selalu melintang serta garis sisa-sisa ketampanan. Wajah yang tidak pernah marah, namun menghasilkan mata yang selalu menatap tajam penuh dengan kekecewaan jika melihat aku yang selalu tidak menurut perintahmu atau lalai menjalankan tugas.
Wajah yang dulu senantiasa melihat aku tumbuh hingga dewasa. Wajah yang belum pernah aku lihat ada air mata yang membasahinya, meskipun beberapa tahun lalu ditinggal Ibu berpulang. Hanya gerimis kecil terlihat dimatamu, begitu tegar ketika dilanda kehilangan besar atau mungkin juga begitu ikhlas ketika semua memang harus terjadi, sang pasangan jiwa pergi untuk selama-lamanya.

Bapak,
Maaf aku tidak bisa memelukmu untuk yang terakhir kalinya. Padahal dulu tanganmu selalu memeluk, mendekap dan menuntun hingga aku mampu berjalan. Tangan kekar yang dulu sering menyuapi makanan pada anakmu ini yang masih balita, sambil membawanya jalan-jalan di pinggir rel kereta api di sekitar lingkungan rumahmu yang berdinding bambu. Tangan yang kadang mengajak menari sambil berdendang bersama. Tangan yang sudah begitu sering merasakan kerasnya hidup dan selalu menadah kala berdoa di sela-sela ibadah.

Bapak,
Maaf aku belum sempat bersimpuh dikakimu. Kaki yang begitu keras menjalani hidup. Bekerja siang malam mencari nafkah demi kelangsungan hidup dan tanggung jawab kepala keluarga. Sebagai seorang Tentara yang menjalani tugas mengabdi pada Negara. Berteman dengan teriknya matahari dan bila malam menjelang kakimu mulai bergerak mengayuh becak sewaan dari tetangga untuk menjemput para pelanggan. Kayuhan kakimu menari seirama bintang-bintang yang selalu menemanimu. Peluh pun tak dirasa meski hadirnya begitu deras. Semua ini Bapak tempuh karena menganggap gaji dari negara belum cukup untuk membeli susu buat anakmu. Untuk korupsi, wah berpikir untuk untuk itupun mungkin Bapak tidak pernah. Bukan tidak puas atas rezeki yang telah diberi namun bapak bekerja lebih keras dari yang lain, berharap supaya nanti anaknya bisa tumbuh jadi sehat dan lebih pintar. 

Bapak,
Maaf aku belum sempat membahagiakanmu. Di saat Bapak renta, aku ingin selalu bisa menuntunmu kala langkahmu mulai goyah. Aku ingin terus menjagamu dengan hati tulus. Aku ingin tetap menyayangimu selama waktu berputar. Aku ingin mengucap terima kasih yang tak terhingga karena Bapak sudah menjaga, mengasuh dan mendidikku. Tapi semua itu takkan terjadi karena Bapak telah pergi sebelum renta tiba. Kini tinggal rindu melanda yang selalu kutitipkan pada angin buat Bapak disana. Aku yakin Bapak masih menyaksikan aku disini dan semoga Bapak bahagia. Aku selalu sayang Bapak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar