Halaman

Minggu, 25 November 2012

Ini Saja Sudah Cukup


Aku selalu merasa senang berada di tempat-tempat seperti terminal, stasiun, pelabuhan dan bandara. Tempat mangkalnya alat-alat transportasi yang akan mengantarkan para penumpang pergi ke tempat tujuan. Ada yang berangkat ada yang pulang. Ada yang mengantar ada yang menjemput. Riuh ramai tapi menyenangkan melihat suasana seperti ini. Mereka saling mengungkapkan rasa dengan saling berpelukan, bersalaman, bertatapan dan senyuman. Bahkan kita bisa melihat banyak cinta disini.
Seperti aku sekarang disini, di sebuah stasiun kereta, sendiri. Aku akan pergi dari kota ini, menjauh darimu untuk entah berapa lama. Ya aku mengaku kalah karena pergi darimu. Aku tidak mau merusak hubungan cintamu dengan dia. Meski aku harus memendam rasa ini. Meski aku bisa mati bila tanpamu.
Dulu waktu kita pertama kali bertemu juga di kereta api dalam sebuah perjalanan. Aku sendiri kamu juga sendiri. Tujuanku pergi ke kota lain untuk suatu urusan dan kamu pulang ke kampung halaman tempat kedua orang tuamu dalam rangka liburan. Mungkin kita sudah ditakdirkan untuk duduk di nomor kursi yang bersebelahan. Kamu memohon duduk di kursi yang dekat dengan jendela meski nomor kursi itu adalah tempat dudukku. Itu awal percakapan kita. Mungkin aku merasa ini jatuh cinta pada pandangan pertama.
Percakapan terus mengalir seiring deru laju kereta. Sesekali dari luar jendela tampak gerimis mengguyur persawahan yang terbentang luas. Dan akhirnya kita pun berpisah setelah sampai di stasiun kereta ini.
Komunikasi kita mulai berjalan lewat telepon, saling bercerita dan kadang kita juga pergi keluar berdua. Kamu bilang senang berteman denganku tapi aku rasanya sudah jatuh cinta padamu meski masih juga menyimpannya dalam hati. Aku belum berani mengatakannya dan inilah awal kesalahanku. Kamu tak kan pernah tahu rasa ini.
Seiring berjalannya waktu, akupun tahu ternyata kamu sudah mempunyai kekasih hati yang kini sedang bertugas di pulau seberang. Katamu setelah tugasnya selesai dia akan pulang untuk menyuntingmu. Tiba-tiba aku beku terpaku tapi kamu tidak tahu itu. Bagaimana bisa aku memadamkan rasa ini, rasa yang begitu indah bila berada disampingmu.
Aku masih disini, sedang menunggu di stasiun kereta. Mungkin kita seperti rel kereta itu, selalu beriringan namun tidak pernah bisa menyatu. Masih juga kulihat beberapa orang yang sedang lalu lalang, bercengkerama, duduk, makan, menelepon diantara pilar-pilar stasiun ini. Masih ada banyak cinta disini meski ada yang terdiam dalam rasa.
“Arjun !”
Ada yang memanggil namaku.
“Gila ya, kenapa nggak bilang kalau mau pergi, HPnya dimatiin, aku juga tahu dari Ibu kostmu, katanya kamu pamit mau pergi karena ada urusan yang mendadak”.
Kamu datang menemuiku.
“Maaf Ta, aku tidak memberitahu, aku memang harus pergi” jawabku sekenanya.
“Tapi kamu pasti datang kan ke pernikahanku minggu depan” tanyanya.
“Iya …” jawab bibirku tapi tidak hatiku.
Aku menatapmu dalam. Ada jeda sejenak. Diam. Matamu bicara. Tiba-tiba kamu genggam tanganku. Ada getaran disana. Aku lalu memelukmu lembut. Ini saja sudah cukup buatku, untuk saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar